Hajatan nasional yang tentu besar dan serius bisa dimaknai dari berbagai sudut pandang. Beragam kegiatan yang berkaitan dengan event pemilihan presiden atau pemilihan anggota DPR, misalnya yang tentu serius dan menyedot pikiran, tenaga, dana sangat gendut bisa disentil, disinggung, atau diulas dengan cara yang “tidak serius”. Cara menyinggungnya seperti tidak serius, kadang terkesan bercanda, tetapi sebenarnya mengandung sesuatu yang patut direnungkan. Topik-topik seputar pemilihan presiden dan DPR itu mewarnai esai “Cari Angin” Koran Tempo Minggu sepanjang 2009, dari soal survei calon presiden, baliho para kandidat, hari tenang, pencontrengan, hitung cepat, sampai tokoh negarawan. Adapun esai “Cari Angin” yang dimuat di Koran Tempo Minggu 2010 juga mengangkat topik beragam, dari soal kasus Bank Century, undang-undang pornografi, polisi, beredarnya video mesum dengan tokoh “mirip” tiga artis, dan tak lupa tentang kasus-kasus korupsi.
Topik yang disebut terakhir juga menjadi bahan “bulan-bulanan” kolom “Cari Angin” Koran Tempo Minggu 2011 dan 2012. Salah satunya, yang paling ramai diulas atau cuma disentil, adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan bendahara umum Partai Demokrat Nazaruddin. Masih tentang kasus korupsi, salah satu esai “Cari Angin” di 2012 bertema “hukuman mati bagi koruptor”. Masalah yang satu ini juga bisa diulas dari berbagai segi, dari yang serius, seperti ilmu hukum dan sosiologi, sampai yang bernada ironi.
Namun di kolom “Cari Angin” itu, “hukuman mati bagi pelaku korupsi itu” menjadi topik yang menggelitik dan segar namun bisa memancing orang untuk merenung. Koruptor yang menyengsarakan rakyat dihukum ringan, yang tidak memberi efek jera. Kenapa tidak sekalian dihukum mati? Putu Setia, penulis kolom Cari Angin ini, dengan jenaka mengatakan, “Mati itu bukan hukuman. Bahkan orang mati dibebaskan dari tuntutan apa pun mati sering disebut ‘dipanggil Tuhan’. Betapa enaknya dipanggil Tuhan, jauh lebih enak daripada dipanggil KPK.”