Pre order 17-31 Maret 2020
Bonus:
- TTD Penulis (Persediaan Terbatas)
- Kaos Tuhan Maha Asyik 2 (diundi pada akhir periode)
Agama bukan untuk dibicarakan. Apalagi dibicarakan cuma dalam bahasa kata. Ia laksana napas bagi awam yang senantiasa bernapas tanpa membicarakannya. Kitab suci diturunkan bukan untuk dipenjara dalam bahasa kata. Agama dan kitab suci dihadirkan Tuhan untuk disejiwai dan disebadani oleh seisi alam dengan berbagai macam bahasa—bahasa lukisan, bahasa musik, bahasa aroma, dan lain-lain bahasa bahkan bahasa keheningan—bukannya diributkan dalam perkelahian persepsi dan cuma dalam bahasa kata. Tapi, amit-amit, fakta yang jamak berlangsung kini malah: Agama dimonopoli golongan tertentu, lalu Tuhan ditunggangi untuk melegitimasi syahwat politik berkedok agama, bersenjatakan tusukan bahasa kata-kata di atas mimbar. Pesan-pesan miris inilah yang dihadirkan Sujiwo Tejo dan Dr. Muhammad Nursamad Kamba dalam sekuel Tuhan Maha Asyik ini.
Kritik dalam buku ini, seperti edisi sebelumnya, dibangun dengan arif. Hadir melalui kisah-kisah lincah tentang kemerdekaan berpikir ala bocah-bocah yang nama-namanya mewakili berbagai keyakinan, seperti Christine, Parwati, Dharma, Samin, Kapitayan, Buchori, dan Pangestu, yang diimbangi kearifan Bu Guru Matematika dan Pak Guru Biologi dalam “angon” murid-muridnya yang sangat independen itu. Dan, ditutup dengan hikmah tentang kasih sayang Tuhan yang meliputi segala sesuatu. Tuhan adalah Kebaikan Absolut. Ia senantiasa mencipta tanpa jeda, sebagai wujud cinta pada makhluk-makhluk yang bersedia takluk pada kasih dan sayang-Nya. Cinta Tuhan tak terbatas ruang dan waktu. Dia Maha Asyik Sekali—sejauh manusia tidak kurang ajar, dengan nekat mempersepsikan-Nya, yang ujung-ujungnya malah mengajak Dia ribut.
“Nursamad Kamba dan Sujiwo Tejo, dua ‘musafir di jalan Allah’, merasa perlu menegaskan ‘keasyikan’ Allah dengan mempersembahkan buku mereka, Tuhan Maha Asyik 2 ini, boleh jadi karena — atau terutama karena — melihat fenomena maraknya kelakuan mereka yang menganggap diri pemeluk paling teguh terhadap agama Tuhan dan menganggap orang lain sebagai hamba yang sesat karena tidak seperti mereka. Kelakuan yang sama sekali tidak asyik. Melihat mereka yang keasyikan beragama hingga tak melihat Tuhan Sang Pemilik Agama, Tuhan Yang Maha Asyik.”
—K.H. Ahmad Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesanten Raudhatut Thalibin, Rembang
“Inna kulla syaiin khalaqnahu biqadarin. Tuhan Maha Asyik. Ia menciptakan segala sesuatu dengan kadarnya masing-masing. Berbeda-beda cara angin menyatakan cintanya, awan dan tetumbuhan menyampaikan kesetiaannya, pun manusia mengungkapkan pengalaman jiwanya. Terimalah dengan cinta, hayatilah dengan kesungguhan empati dan kesetiaan.”
—Emha Ainun Nadjib, Budayawan
“Belakangan ini, beragama telanjur cenderung dimaknai sebagai aktivitas yang angker, angkuh, dan absurd. Apalagi intervensi satu sama lain dengan politik. Agama cenderung berjubah, hanya bisa melihat dari jauh, tidak tersentuh, maupun menyentuh. Menolak untuk dipertanyakan oleh sikap yang kritis, apalagi nakal. Terlepas setuju atau tidak dengan tawaran pemikiran dalam buku ini, Sujiwo Tejo, dalang yang memiliki latar belakang pendidikan Matematika dan Teknik Sipil dan Dr. M. N. Kamba, ahli Tasawuf yang menempuh S1, S2, dan S3 Aqidah dan Filsafat di Universitas Al-Azhar, Kairo, selaku penulis telah berusaha dan cukup berhasil mengajak pembaca masuk dalam perbincangan tentang agama terasa dengan asyik, mencongkel dan membuka tempurung yang selama ini membatasi setiap kali menyebut agama. Dengan format perbincangan yang ringan, namun perlahan masuk ke obrolan yang serius, tetap ditulis dalam bahasa sehari-hari dan relatif mudah dimengerti.
Penulis bermain dengan sangat serius, sekaligus dengan serius memainkan kata dan logika. Buku ini menghadirkan wacana yang menjadikan agama sebagai aktivitas yang menarik, tidak kusam malah penuh canda. Bagai menyaksikan sirkus, membaca buku ini kita diajak terpukau sekaligus terhibur oleh permainan kata dan logika yang membuat dahi berkerut, namun merangsang senyum. Cocok untuk semua kalangan, terutama bagi kalian yang terus mencari makna kehidupan.”
—Pandita Utama Herwindra Aiko Senosoenoto, Ketua Umum Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia
“Ke-Mahabesar-an dan ke-Mahakuasa-an Tuhan sering kali dimaknai oleh manusia yang terbatas dalam pikir dan dangkal dalam pemahaman menjadi sesuatu yang ada dalam kotak keterbatasan. Sifat Tuhan yang galibnya Mahabesar tak terkirakan, dalam keterbatasan manusia ditetapkan menjadi terkirakan, ke-Mahakuasaan Tuhan yang galibnya tak kuasa ditetapkan batasannya, ditetapkan batasan kekuasaannya dalam sangkar fanatisme sempit umat manusia yang mengakui beriman pada suatu agama dan bukan beriman kepada Tuhan. Tak heran manusia menjadi terkotak-kotak karena kotak-kotak tersebut tanpa sadar diciptakan karena keterbatasan.
Hidup beragama pada hakikatnya mengenal Tuhan dari penelusuran kedalaman batin, tempat Cahaya Kebajikan bersemayam. Namun itu bukan berarti manusia tak perlu belajar dan berlatih, bersembahyang dan berdoa serta merenung. Belajar dan berlatih, bersembahyang dan berdoa serta merenung bukan semata-mata tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan yang terpisah dari hubungan horisontal manusia dengan manusia dan alam.
Aktivitas-aktivitas itu sejatinya mengasah manusia menemukan dirinya yang sejati yang mewujud dalam ‘sempurnanya’ kata dan perbuatan karena penemuan diri sejati itu dipenuhi dengan ketulusan dalam iman, bukan ‘pamrih’ mengharapkan sesuatu pada Sang Khalik Yang Mahabesar dan Mahakuasa. Membaca buku Tuhan Maha Asyik 2 yang ada di tangan Anda mengantarkan Anda pada keluasan dan kedalaman makna bukan pada kotak-kotak label agama yang sekarang ini menggeliat berkelindan dengan berbagai macam kepentingan yang jauh dari penemuan diri sejati yang mempersatukan Tuhan dengan manusia, tetapi justru mempersatukan manusia dengan nafsu dan egonya. Selamat asyik membaca dan merenung.”
—Uung Sendana, Pendiri Yayasan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN)
“Dari judul buku Tuhan Maha Asyik 2 ini sudah dapat diterka kira-kira isinya bagaimana. Apalagi penulisnya Sujiwo Tejo dan Muhammad Nursamad Kamba tentu semakin terbayangkan bagaimana cara berpikir dan bertutur mereka yang dikenal nyeleneh.Di antara sederet nama panggilan kepada tuhan tentu tidak pernah terdengar istilah ‘Yang Maha Asyik’, umumnya dikenal sebutan Tuhan Mahabesar, Tuhan Maha Bijaksana, dan seterusnya. Jadi, dapat dibayangkan ketika seseorang memanjatkan doa ‘Wahai Tuhan yang Maha Asyik tunjukanlah aku jalan yang lurus’. Terasa aneh bukan. Tetapi memang Tuhan itu Maha Asyik, istilah yang mengandung merangkum banyak makna. Mas Tejo dan Buya Muhammad Nursamad Kamba tidak gegabah dalam mengejawantahkan nilai-nilai ketuhanan di dalam buku ini. Kecerdasan mereka terlihat ketika masalah besar dan penuh konflik itu dapat dipaparkan dengan ‘ringan’ hingga mudah dimengerti. Tentu tanpa tujuan mengecilkan makna agama dan ketuhanan itu sendiri. Pada dasarnya buku ini mengarahkan pembaca agar lebih menyadari secara cerdas dan bijaksana bahwa Tuhan itu tidak seperti yang dibayangkan, pun tidak seperti yang ditawarkan melalui rumus-rumus dalam ruang ceramah keagamaan hingga menjadi citra kolektif tentang pribadi Tuhan. Buku Tuhan Maha Asyik 2 ini banyak menuturkan tentang bagaimana manusia secara umum mempersepsi tuhan sesuai dengan kemauannya sendiri, belum lagi kesibukan komunitas keimanan yang kelak memicu perseteruan antar keyakinan beragama hingga banyak orang melupakan kenikmatan beragama dan bertuhan. Satu hal tidak boleh dilewatkan dari keunikan buku ini adalah nuansa kritik dan sindiran halus yang disampaikan secara simbolis melalui gaya bertutur yang mengalir hingga terasa tidak menohok para pembaca. Tetapi boleh jadi juga itu semua karena dilandasi oleh argumentasi logis.
Akhir kata, jika Tuhan tidak Maha Asyik dapat dipastikan manusia tidak akan dapat menikmati secangkir kopi sambil membaca buku ini.”
—Lucky Hendrawan, Pelaku Ajar Pikukuh Sunda
“Agama mengajarkan belas kasih dalam kehidupan nyata dan agama hadir dalam sanubari manusia yang memiliki welas asih. Buku ini menawarkan cara beragama yang mengutamakan welas asih dalam kehidupan nyata. Agama memberikan kekuatan batin dan memajukan kemanusiaan.”
—Pastor Antonius Benny Susetyo, Pr., Budayawan
“Di tengah makin menjamurnya bacaan-bacaan provokatif dengan mengatasnamakan agama, bahkan juga mengatasnamakan Tuhan, terbitnya buku yang mengasyikkan ini menjadi semacam penawar di tengah masyarakat yang makin mabuk agama. Dengan demikian agama menjadi begitu menegangkan dan penuh dengan ujaran kebencian, meski jualannya adalah kasih dan damai. Lewat buku ini kita kembali merasakan keagungan Tuhan yang Maha Asyik, yang cinta-Nya, —sesungguhnya—menembus batas-batas dan sekat yang dibangun oleh sementara penganjur dan tokoh agama belakangan ini.
Kita sangat galau dengan kecenderungan sementara tokoh agama yang ‘mengerangkeng’ Tuhan berdasar tafsir tunggalnya atas teks kitab suci. Penafsiran tekstual yang mengabaikan konteks telah menghilangkan sama sekali pesan substansial kitab suci itu. Sehingga tampillah klaim-klaim kebenaran sendiri seraya menegasikan kebenaran yang lain. Kisah-kisah dalam buku ini begitu renyah, mestinya akan sangat menohok buat mereka yang selalu mengedepankan klaim-klaim kebenaran dan yang selalu ‘berperang’ atas nama Tuhan. Tuhan itu terlalu besar dan mulia untuk dimaknai hanya sebatas selera dan pemahaman kita yang sempit, itu salah satu pesan yang saya tangkap dari buku ini. Terima kasih buat penulis yang mengingatkan saya untuk lebih rendah hati mengenali diri di hadapan Sang Ilahi.”
—Pdt. Gomar Gultom, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) periode 2019-2024
“Agama semestinya berperan sebagai kendaraan yang membawa manusia kepada perjumpaan yang intim dan penuh sukacita dengan Sang Kudus. Melalui agama, manusia menjumpai Allah Yang Mahabaik dalam relasi yang saling menghidupkan antara sesama manusia, maupun antara manusia dengan ciptaan lainnya. Ketika agama gagal mengelola fungsinya sebagai pembawa kabar baik, maka agama-agama akan terjebak untuk melakoni perannya sebagai institusi tertua di muka bumi yang tetap eksis mengelola bisnis kontrol berdasarkan transaksi surga dan neraka.”
—Jacky Manuputty, Pendeta dan Penggiat Dialog Antaragama