Pada hari pertama kuliah di Universitas Oslo, Albert memperhatikan seorang gadis di depan mesin kopi. Gadis itu, Eirin, balas memperhatikan Albert. Mereka pun saling jatuh cinta. Pertemuan berikutnya menghantarkan mereka ke Rumah Dongeng, rumah terpencil yang semakin menegaskan perasaan cinta di antara mereka.
Tiga puluh tuju tahun kemudian, ketika Eirin berada di sebuah kongres biologi di Melbourne, Albert menerima pesan menyeramkan dari mantan kekasihnya, Marianne. Pesan itu sangat mengguncang hidup Albert, hingga dia memutuskan untuk menyepi ke Rumah Dongeng dan menenangkan diri. Di sini, Albert memberi dirinya batas waktu 24 jam untuk menulis tentang kehidupannya bersama Eirin. Setelah itu, Albert harus membuat keputusan terpenting dalam hidupnya.
Glitrevik
23 April 2009
Kepada semuanya
Aku baru saja dari tempat Marianne. Kusadari bahwa sejak saat ini, segalanya telah berubah. Pikiranku sedang bergolak. Hal yang akan segera terjadi, entah bagaimana caranya, akan meninggalkan jejak dalam diri kita semua. Tidak ada jalan untuk kembali ke kondisi normal semula. Sebuah pemikiran yang menyakitkan.
Aku tiba di sini beberapa saat lalu, langsung menuju telaga dan mendorong perahu ke air. Hal yang selalu kulakukan sebelum tempat ini siap digunakan sesuai musimnya.
Di sekeliling telaga, banyak gundukan salju yang menjadi saksi bisu kepungan musim dingin. Suhu udara saat ini berada di titik beku, tapi tidak ada lagi es di telaga, tidak pula di tengah-tengah Glitrevik.
Aku masuk ke pondok dan mengunci pintu, lalu meletakkan tas bawaanku sebelum membuka daun jendela dan menyalakan api di tungku. Dari jendela yang menghadap ke barat, kulihat matahari akan tenggelam ke balik danau sekitar sejam lagi.
Aku harus melakukan semuanya dengan satu tangan, setidaknya hal-hal yang membutuhkan motorik halus, sudah begini beberapa bulan terakhir ini. Baru hari ini aku tahu sebabnya.
Kakiku membeku kedinginan. Aku tidak mampir dulu ke rumah untuk mengenakan sepatu bot dan pakaian hangat. Tak tebersit sedikit pun pikiran untuk pulang, tidak ada yang menantiku di rumah. Namun, aku mampir ke Toko Joker untuk membeli bahan-bahan makanan pokok. Belanjaanku cukup untuk bekal sehari semalam.
Di pondok ini tidak kekurangan sepatu bot panjang dan pakaian hangat, dan aku menemukan sepasang kaus kaki wol tebal. Dengan api yang menyala di kedua oven pemanas, tidak lama lagi akan terasa nyaman dan hangat di sini. Itulah untungnya pondok yang sempit, kesempatan dalam kesempitan.
Sehabis mengunjungi Marianne, tiba-tiba ada dorongan dalam diriku untuk menyendiri, mengisolasi diri sepenuhnya.
Pikiranku kacau, sesuatu berkecamuk di dalam benakku. Aku ketakutan, terganggu, tapi ada sesuatu yang harus kutemukan jawabannya dan kuputuskan. Aku harus mengambil keputusan, menentukan langkah, karena itu aku harus menulis kannya; itulah satu-satunya cara meluruskan pikiran saat ini. Aku harus memastikan pikiran-pikiran itu singkat dan lugas sebelum menumpahkannya di atas kertas. Rasanya, aku bisa melihat benang merah di tengah segala kekacauan ini, tapi tak tahu ke mana arahnya.
Dan aku menyadari bahwa aku tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tidak pula hanya untuk para kerabat dan sobat dekat. Aku bisa memelopori sebuah gagasan demi kepentingan seluruh umat manusia.
Namun, apa itu manusia? Pertanyaan yang bisa dipandang naif. Tapi, aku menyadari, aku belum pernah merenunginya secara sistematis.
Tidak ada yang istimewa dalam situasiku saat ini, bahkan sebaliknya. Aku hanya salah satu dari kita, dan dalam kapasitas itulah, aku saat ini duduk dan menulis sepanjang malam. Aku telah mencanangkan tenggat waktuku 24 jam. Kita sangatlah kaya tak berhingga akan kesan-kesan kehidupan, pengakuan, kenangan, dan hubungan satu sama lain. Tetapi, pada saat berpisah, segalanya luruh dan lenyap, terlupakan.
Dunia ini tiris, mengalirkan darah. Sampailah kini giliranku. Kutahu hari ini pasti akan datang. Kejutan yang menyakitkan ibarat pilinan pada telinga. Atau tonjokan brutal di hidung.
Namun, aku akan memulainya dari sudut yang lebih riang. Sebelum aku sampai pada babak akhir sandiwara ini, aku akan mengawalinya dengan adegan pembuka yang manis.
*
Aku mengingat-ingat kembali saat pertama kali Eirin dan aku ke tempat ini, September 1972. Kisah yang akan segera kuceritakan ini, tidak ada di antara kalian yang pernah mendengarnya. Christian, June, dan Sarah bisa bersiap-siap karena sebentar lagi aku akan mengungkapkan rahasia yang selama ini tersimpan rapi.
Mengapa kami bertahun-tahun merahasiakan dari kalian tentang bagaimana segalanya berawal, mungkin akan sulit dipahami, tapi kurasa setiap keluarga pasti menyimpan rahasia-rahasianya sendiri. Awalnya, Christianlah yang ingin kami lindungi. Kami berniat akan menceritakan semuanya saat dia telah lebih dewasa. Tapi ternyata itu tidak pernah terjadi.
Namun, di sini, segala rahasia lama akan diungkapkan. Kuawali cerita ini dari permulaan, sebagaimana yang tersimpan dalam ingatanku selama hampir 37 tahun. Nantinya, kalau perlu, Eirin bisa menambahi atau membetulkan.
Waktu itu, kami berdua masih berumur sembilan belas tahun dan jadi mahasiswa baru di Universitas Oslo. Pertama kali kami saling memandang, pada suatu Senin pagi di ruang istirahat Gedung Sophus Bugge. Itu hari pertamaku kuliah.
Aku memperhatikan seorang gadis di tengah kerumunan. Dia sedang memasukkan koin ke dalam mesin kopi otomat. Aku jadi ingin juga membeli segelas kopi dan membawanya ke ruang kuliah, setidaknya agar tidak melenggang dengan tangan kosong. Pada saat itulah, kami saling memperhatikan, saling bertukar pandang. Kami tersipu sekaligus tercengang, bukan karena sudah pernah bertemu, sebaliknya, karena kami begitu yakin bahwa kami berdua sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya.
Dia tersenyum padaku, cukup lama, sekitar dua detik. Senyuman itulah yang membuka ranah tak terjamah dalam diriku.
Kami tidak tahu apakah kami akan menghadiri kuliah yang sama, awal dari rangkaian yang akan berlangsung sepanjang semester musim gugur. Kami sama-sama baru kali ini menginjakkan kaki di bagian yang dipadati mahasiswa di gedung universitas ini, dan sama-sama datang sendirian.
Pandangan mata kami bertemu lagi, membuat kami jadi salah tingkah; hal yang akan kami obrolkan seminggu kemudian. Sementara, kami sama-sama ingin secepat-cepatnya punya teman sesama mahasiswa, teman senasib sepenanggungan, dan alangkah baiknya bila itu terjadi sebelum kuliah pertama musim gugur ini dimulai.
Hal itulah yang mungkin mendorong dia bertanya pukul berapa kepadaku, padahal kulihat dia mengenakan jam tangan, yang tentu saja menunjukkan waktu yang sama dengan jam tanganku. Karena itulah, aku makin penasaran untuk mengungkapkan mengapa dia menanyakan waktu padaku. Apakah pertanyaan itu disertai maksud lain, sebuah pesan tersirat? Apakah dia bermaksud menunjukkan bahwa dia ingin berkenalan dengan-ku?
Kujawab saja sekarang pukul sembilan lewat sembilan menit, kusadari jawaban singkat itu seakan-akan tak acuh dan terkesan menghindar. Padahal, sebenarnya aku ingin sekali bicara lebih banyak dengan dia. Namun, kesempatan untuk meneruskan percakapan telah lenyap begitu saja.
Manusia sering kali menempuh jalan berbelit-belit sebelum saling berhubungan secara langsung. Tak banyak jiwa yang dianugerahi kemampuan untuk bisa lugas tanpa basa-basi: “Hai, kamu! Kita kenalan, yuk!”
Aku tidak menyadari bahwa aku menyukai gadis yang sedang memegang segelas kopi dan bertanya pukul berapa sekarang. Aku tidak menunjukkan betapa kuterpesona akan senyum manisnya. Kusimpan dalam hati kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Sejak pandangan pertama, aku telah terpikat oleh indah rambutnya yang kecokelatan, kesejukan biru matanya yang bak air lelehan gunung es, biru kehijauan, dan harum aroma tubuhnya; ruang istirahat ini terasa penuh sesak.
Aku juga tak mengatakan sepatah kata pun betapa aku suka gaun musim panas bercorak bunga yang dia kenakan pada hari pertama kuliah ini, bukan blue jeans seperti mahasiswa lain. Orang cenderung berhati-hati untuk berkomentar tentang penampilan pada awal tahun tujuh puluhan .…
Namun, jawaban ala kadarku tidak ada efeknya, karena gadis ceria itu tidak menyerah begitu saja. Dia bertanya lagi apakah aku akan ke kuliah ?lsafat. Aku mengangguk, dan segera kutambahi dengan: “Kita bisa pergi sama-sama.”
Gadis itu tersenyum lagi. “Tapi tunggu, ya, aku mau membeli segelas kopi juga,” imbuhku. Dia berdiri menunggu di sampingku.
Lalu, kami berjalan bersama di sepanjang koridor dan masuk ke auditorium. Berguna juga pertanyaan pancingan dia tentang waktu.
Kami berdiri menunggu beberapa menit sebelum kuliah dimulai, di mana seorang dosen muda menerangkan secara singkat tentang ?lsafat presokratik. Aku tidak ingat apa yang kami bincangkan, mungkin menyinggung sedikit tentang Empedocles atau Heraklitus. Seingatku, kami tidak banyak bicara tentang diri kami.
Tak lama kemudian, kami segera berpisah, entah karena salah seorang dari kami terburu-buru ada acara lain, atau sekadar karena kami tak tahu lagi mau berkata apa. Gadis itu sempat memperkenalkan namanya Eirin, dan aku bilang namaku Albert.
Setelah pertemuan itu, kami berjumpa tiga-empat kali dalam beberapa hari ke depan. Kami saling melacak keberadaan satu sama lain, saling mencari di setiap lekuk dan liku sudut area universitas, di pusat kota, di kafe-kafe. Kian lama, kami berdiri dan berbincang kian panjang setiap kali bertemu.
Namun, kami tak pernah duduk-duduk di bangku atau di atas rumput. Pun tidak pernah berjanji untuk bertemu lagi. Hal itu tak perlu. Kami tahu, kami akan bertemu lagi.