Ini kopi bukan sembarang kopi. Ini kopi bikinan koki bernama Jon Pakir alias “Jon yang Faqir”—seorang pakar kondang asal Jombang yang piawai dalam meracik gagasan dan merakit kata-kata. Kali ini, si Jon ingin menghibur pembaca sekaligus menyajikan secangkir kopi yang mat-matan untuk dinikmati kapan dan di mana saja. Ada kopi “Modal untuk Pelit”, kopi “Amenangi Zaman Jahiliah”, kopi “Jurnalisme Absolut”, kopi “Syahadat Kiai Jangkung”, kopi “Sosiologi Munyuk”, kopi “Fastabiqul Fulus”, dan kopi-kopi lain yang ditanggung lebih sip ketimbang kopi nasgithel (panas, legi, lan kenthel).
Dari sekitar seratus lima puluhan kopi yang tersaji dalam buku ini, sang koki mencoba membincangkan problem-problem masyarakat kelas bawah (dalam arti luas) yang banyak diobrolkan di gardu-gardu, di warung-warung, dan di tempat-tempat obrolan lain yang strategis. Lewat gaya tulis yang khas miliknya, sang koki kadang menjenakakan atau menyeriuskan topik-topik yang dibahasnya. Dan, ditambah dengan bahasanya yang sederhana, efisien, dan lugas, Secangkir Kopi Jon Pakir ini dapat “diminum” oleh siapa saja.
Pengantar Penerbit
Ini adalah kopi, eh, buku keempat racikan Emha yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Buku pertama, yang ditulis semasa ‘kabur kanginan’ di Eropa sana, berjudul Dari Pojok Sejarah (1985)—sebuah karya monumental baginya. Entah kapan lagi Emha dapat menulis ‘buku utuh’ semacam itu. Buku kedua adalah Suluk Pesisiran (1989), sebuah karya (terjemahan) berat yang memperlihatkan ketekunan dan kepiawaiannya dalam menggeluti bidang langka dan pelik—sastra sufi.* Buku ketiganya adalah Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (1990), yang melaluinya, Emha mencatat tonggak penting sebagai perintis di bidangnya dalam melahirkan medium ungkap khas: “proisi” (campuran prosa dan puisi).
Buku keempat, yang berjudul Secangkir Kopi Jon Pakir ini, lagi-lagi membawa aroma baru dalam khazanah kekaryaan Emha. Tanpa bermaksud ‘mengesampingkan’ karya-karyanya yang lain, baik yang berwujud puisi atau prosa (esai)**, dalam buku ini Emha tampak benar bergelut total dengan persoalan-persoalan hidup masyarakat kelas bawah, yang diungkapkan lewat ‘bahasa jelata’—sederhana (struktur-nya) dan jenaka (gayanya). Contohnya, dia tampak asyik sewaktu membincangkan ‘para calo’ di terminal-terminal bis di setiap kota. Dia hafal betul karakter Terminal Pulogadung Jakarta—yang disebutnya “kiblat budaya terminal Indonesia” (h. 243)—Pasar Metro Lampung, dan Joyoboyo Surabaya. Saking akrabnya dengan ‘budaya terminal’, akhirnya dia mengaku bahwa terminal adalah ‘universitas paling jujur’ baginya (h. 236).
Keterlibatannya yang intens—yang, kadang, sampai membuatnya ketulo-tulo—dengan persoalan-persoalan tersebutlah yang membesarkannya menjadi ‘tokoh’ unik sekaligus ‘tahan banting’ …. “Saya adalah seorang pakar dalam menertawakan diri sendiri, sehingga terkadang saya menjadi masokis-komis yang rindu hantaman, rindu fitnah, rindu tantangan. Bahkan sering ada fitnah amat serius di koran kepada saya, saya ujo terus …,” ujarnya (h. 331).
Kemudian, di samping itu, lewat buku ini kita juga akan bertemu dengan Emha yang ‘mengakrabi’ ayat-ayat Allah. Dia tampak sangat berhati-hati dalam memasuki ‘medan penting’ tersebut. Dalam menanggapi sebuah kritik yang dilontarkan kepadanya, Emha bilang, “… ‘tafsir seniman’ itu tidak ada. Yang saya lakukan hanyalah tafsir seorang ‘abdullah yang masih terbata-bata. Jadinya, Anda terkadang membaca ‘tafsir najibiyah’ yang thing blasur …” (h. 299). “So help me .… Kritiklah kapan saya keliru. Tapi juga perkenankan saya menjadi pengembara yang melacak ayat-ayat Allah yang tak hanya terdapat di Kitabullah, tapi juga di air sungai, di debu-debu galaksi, di ufuk-ufuk kejiwaan manusia, zaman, dan sejarah, serta di mana saja.” (h. 299). Kita pantas menunggu kemunculan karya Emha dalam bidang tafsir ini.
Demikianlah, sedikit “pemanis” agar kopi, eh, buku ini dapat pembaca nikmati dengan enak. Selamat menikmati sajian Emha kali ini.
Bandung, Ramadhan 1412,
Hernowo
* Atau—lebih tepat—sastra suluk, yaitu sastra dalam bentuk tembang macapat yang berisi wejangan, baik melalui perlambang maupun dengan penjabaran, perihal mistik atau tasawuf.
** Lihat halaman 396 buku ini.