STOP!
Jangan Nikah Dulu
Kita perlu tahu …
Pastikan kamu telah berpikir matang-matang sebelum memutuskan untuk menikah. Karena jika tidak, hanya kesedihan yang akan kau dapatkan.
Tak perlu terburu-buru dalam menentukan pilihan. Jangan paksa dirimu sendiri dengan mengambil keputusan. Menikah bukan lomba balap karung. Kamu nggak akan dapat apa-apa jika menikah lebih lambat ataupun sebaliknya. Pilihlah dengan hati tenang dan nyaman karena hanya kesedihan yang kamu dapatkan jika memilih pasangan yang salah.
Untuk kalian yang malam Minggu ini galau karena sebal sendirian. Yang sebal jadi jomlo. Yang patah hati melihat gebetan jalan dengan yang lain. Yang ingin nyakar tembok lihat pengantin baru anget berduaan.
Untuk kalian yang malam ini mengharapkan hujan turun sangat deras. Yang berdoa agar langit kelap-kelip dengan halilintar dan banjir besar melanda agar yang pacaran nggak bisa jalan berdua.
Untuk kalian yang malam ini menggelar doa khusyuk berisi harapan agar bisa bersanding
di pelaminan dan menghapus status jomlo di KTP.
Saya mau kasih tahu sesuatu:
Nikah itu nggak enak.
Nikah Itu ...
… bukan haha-hihi seperti orang pacaran. Nikah itu bukan keseruan kayak main rumah-rumahan. Nikah itu bukan hip-hip hura seperti saat bersama sahabat. Nikah itu pengorbanan. Perjuangan. Nikah itu awal petualangan baru saat masalahnya bertemu dengan masalahmu dan harus kamu pecahkan dengan atau tanpa dia.
Keluargamu berantakan, terus kamu pikir dengan menikah bisa membuatmu lari dari keluarga?
Mimpi!
Masalahmu dengan masyarakat sangat banyak sampai kamu nggak tahan dengan omongan orang, lalu kamu berharap bisa lepas dari gunjingan dengan menikah?
Mimpi!
Kamu miskin jelata, kemudian berharap bisa menikahi CEO kaya raya dan foya-foya sampai menutup mata?
Mimpi!
Dengan menikah, takdirmu bertemu dengan takdirnya. Dengan menikah, masalahmu bertemu dengan masalahnya. Dengan menikah, keluargamu bertemu dengan keluarganya. Semua itu masalah, Sayang. Semua itu bisa jadi masalah baru atau melanjutkan masalah lama yang lebih WOW lagi.
Oke, mari kita ngobrolin yang real.
Jika sebelum nikah, kamu hanya berpikir apa yang diharapkan orangtua darimu. Setelah nikah, kamu juga harus berpikir
apa yang diharapkan mertua darimu. Kalau sebelum nikah, kamu cuma berpikir bagaimana membuat perutmu kenyang. Setelah nikah, kamu juga harus berpikir cara membuat perut pasanganmu—dan anak-anakmu kelak—kenyang.
Dulu, saya mengerjakan skripsi sambil menjadi ibu rumah tangga. Saat mengejar dosen ke sana-kemari, saya harus memikirkan juga bagaimana membersihkan rumah, bagaimana masak, bagaimana belanja, hingga bagaimana kalau suami pulang kerja nanti. Sekalipun suami sudah memberi izin untuk berkonsentrasi pada skripsi, tetap saja saya kepikiran karena menyadari posisi saya, kan?
Capek? Banget. Tentu saja saya jadi iri sama teman-teman yang masih bisa tertawa di kantin atau nongkrong di toko buku sampai sore. Tapi, memang ini harga yang harus dibayar untuk sebuah keputusan, kan? Saya mendapatkan kehidupan bersama orang yang saya cintai dan harus mengorbankan kepentingan dan kesenangan saya, sama dengan dia yang juga mengorbankan kesenangannya untuk bisa menjadi suami saya.
Seindah itukah kehidupan pernikahan?
Nyatanya, tidak.
Saat awal pernikahan, kami yang masih muda belia sama-sama kaget. Kepala kami masih sekeras batu dan ego kami masih setinggi Eiffel. Ribut dan berantem itu bisa terjadi dua sampai tiga kali sehari. Berantem-baikan-berantem-baikan, seperti itu terus sampai Brad Pitt jualan cilok di perempatan.
Jika sekarang akhirnya kami nempel kaya prangko, itu karena perjuangan bertahun-tahun, hasil dari perjuangan untuk menyatukan dua kepribadian yang sangat sama—sama-sama keras.
Jadi suami … habis kerja maunya langsung tidur. Eh, harus nimang anak, bantuin jaga anak lagi sakit, beli ini-beli itu buat keperluan istri yang nggak bisa keluar rumah seharian, bantuin istri membereskan kerjaan rumah, sampai memperbaiki perkakas rumah tangga yang rusak. Nggak bisa? Harus bisa. Menjadi suami dan ayah itu berarti jadi satu-satunya orang yang bisa diandalkan di rumah. Kalau nggak mau atau nggak bisa, siap-siap istri ngomel. Nggak seberapa sih ngomelnya. Yang parah itu kalau tidur dikasih punggung. Hm … sepet nggak tuh?!
Belum lagi kalau ada acara di lingkungan tempat tinggal, kepala rumah tangga harus ikut, harus tampil membawa nama baik keluarga. Kalau nggak mau, harus rela diomongi sana-sini. Istri juga bakalan ngoceeeh melulu.
Ingin main dengan teman? Jangan sembarangan pergi, kalau tidak mau melihat istri melotot di depan pintu kayak Nyi Pelet.
Bagi kamu cewek-cewek yang bekerja. Jika sekarang sepulang kerja kamu bisa jalan-jalan manja ke mal, nanti setelah nikah ... jangan harap. Kamu kudu izin sama suami ke mana pun. Kalau suami nggak ridha, acara shopping-mu bisa jadi haram. Suamimu juga punya kewajiban dan hak untuk memfilter temanmu. Nekat melanggar? Hati-hati saja, deh.
Ridha Tuhan ada di tangan suami. Apalagi kalau kamu nekat pergi diam-diam di belakang suami. Hiii ... ngeri!!!
Saat berumah tangga,
kebebasanmu hilang.
Hakmu akan ditutupi
dengan kewajiban.
Ini bukanlah adaptasi yang mudah. Makanya banyak sekali pengantin baru yang niat cerai atau selingkuh karena nggak kuat berjuang menekan ego.
Nikah dengan orang kaya raya juga bukan jaminan kebahagiaan. Ada lebih banyak bahaya yang mengintai.
Oke, saya nggak akan sebut masalah pelakor, selingkuhan, suami “jajan”, atau sifat si anak orang kaya yang manjanya nggak ketulungan. Saya mau cerita saat kekayaan yang dimiliki itu habis, saat kamu dan dia akhirnya nggak punya apa-apa dan nggak punya siapa-siapa selain cinta—atau komitmen. Nah, apa yang bakal kamu lakukan?
Percayalah, uang bisa hilang dan habis dalam waktu semalam. Ada banyak sekali cara yang bisa membuat rupiah hilang dari rekeningmu saat ini juga. Lalu, kamu bisa apa? Cerai? Membuang dia yang sudah kere? Cari yang lain? Ya, kalau ada yang mau. Kalau nggak?
Saya pernah menghadapi momen ketika nggak ada uang yang tersisa, selain untuk makan satu orang. Waktu itu saya berbohong kepada suami dan bilang saya sudah makan. Padahal, dari pagi saya cuma minum air mineral. Uangnya saya belikan makan buat suami. Kasihan, dia baru pulang kerja.
Pernah juga uang cuma bisa buat beli satu nasi bungkus. Suami belikan untuk saya tok. Saya tahu kalau dia nggak punya apa-apa lagi. Saya pura-pura bilang kalau nasi bungkusnya nggak enak dan bukan selera saya. Hanya makan beberapa sendok, lalu saya berikan kepada suami.
Syukurlah, pertolongan segera tiba saat itu. Tapi ... kalau ada di posisi saya, mampukah kamu menghadapinya? Itu nggak terjadi sehari-dua hari. Itu terjadi dalam kurun waktu yang cukup untuk membuat iman goyah.
Apakah ujian rumah tangga hanya sampai di situ?
Tidak. Kamu juga masih harus menghadapi barisan orang di masa lalu yang mungkin sekarang terlihat jauh lebih baik daripada dulu. Bukan nggak mungkin kamu bertemu dengan mantan yang sekarang sudah mapan dan baik dari segi finansial, sementara kamu sedang kesulitan. Lalu, tiba-tiba mantan menawarkan untuk balikan dengan segudang janji manisnya.
Apa yang akan kamu lakukan?
Mungkin sekarang, saat sedang dalam keadaan normal dan belum menghadapi masalah, kamu akan mengatakan, “Nggak bakal.”
Sayangnya, banyak orang yang terjebak dengan cerita masa lalu karena kehidupan rumah tangga yang saat ini dijalani penuh dengan masalah dan membosankan. Saat benar-benar menghadapinya, kamu butuh kekuatan untuk menghadapinya.
Saya punya teman yang dulunya cukup ngebet ingin menikah. Setelah benar-benar menikah dengan orang yang
disukainya, dia merasa kecewa karena pernikahan indah yang dulu dibayangkannya hancur seketika.
Dia sampai bertanya-tanya, apakah dia salah pilih orang? Apakah kalau dia nikah sama si A bakal lebih bahagia?
Pernikahan itu bukan main-main. Cowok yang bisa dijadikan suami juga bukan sembarangan.
Nggak cukup modal ganteng dan punya kerja saja.
Dia harus siap dan pantas jadi imam.
Cewek yang bisa dijadikan istri
juga bukan asal cantik dan berbodi aduhai.
Dia kudu siap lahir-batin mengabdi dan mendedikasikan diri untuk keluarga.
Jika sekarang kamu belum menikah dan belum punya calon suami atau pacar atau apalah yang mereka sebut, nggak usah galau.
Siapa tahu itu cara Allah Swt. untuk memberimu kebebasan. Siapa tahu itu cara Allah Swt. untuk memberimu kesempatan berprestasi. Jangan tangisi kejomloanmu. Nggak usah dirisaukan lagi kapan kamu akan menikah. Nanti, kalau sudah saatnya, kamu pasti akan bertemu karena jodoh itu sudah tertulis sebelum kamu lahir. Jodoh nggak akan tertukar atau terselip biar pun kamu bersembunyi.
Nanti, akan tiba saatnya kamu menikah, berjuang, menangis, dan melewati masa-masa buruk dengan pasangan. Setelah itu, mungkin kamu akan jadi pasangan suami-istri yang dewasa dan saling mencintai. Ya, seperti saya dan suami, juga pasangan lain. Mereka yang sudah dewasa dan melalui berbagai masalah bersama. Mereka yang sudah saling mengerti satu sama lain. Mereka yang sudah belajar bagaimana cara menjinakkan kehidupan. Mereka yang sudah tahu bahwa saling memiliki dan mencintai pasangan adalah yang utama.
Suatu saat nanti, saat kamu dan dia yang ada di ujung sana sudah siap lahir-batin untuk perjuangan baru, maka kalian akan bertemu. Hal terpenting yang saat ini harus kamu lakukan adalah mempersiapkan diri dengan baik agar saat dia datang, kamu sudah benar-benar siap untuk menghadapi pernikahan beserta tantangannya.
Nikah itu nggak enak jika kamu nggak siap dengan segala sesuatunya. Nikah itu nggak enak jika niatmu salah. Nikah itu nggak enak kalau kamu memilih calon pasangan dengan serampangan. Nikah akan menjadi enak ketika kamu memiliki bekal untuk menghadapi semua tantangan setelah pernikahan. Nikah akan menjadi sangat luar biasa saat kamu dan pasangan memiliki visi misi yang sama dalam menjalani biduk rumah tangga.
***