TO KILL A KINGDOM

Rp. 115,000

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.pdf.price) }}

(Pdf) +

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.hard_copy.price) }}

(Hard Copy)
Type
Qty Stock : Available
Qty
Stock : 15
Note
Mizan Store
Jakarta
4.5

Bukankah setiap putri layak mendapatkan seorang pangeran?


Masalahnya, Putri Lira menginginkan banyak pangeran … untuk diambil jantungnya. Sebagai siren, Lira yakin bahwa semakin banyak jantung manusia yang dikumpulkan, dia akan semakin kuat. Lira harus membuktikan dirinya pantas mewarisi takhta ibunya, sang Ratu Laut yang kejam dan tak kenal ampun. Sial bagi Lira, target berikutnya adalah Pangeran Elian yang terkenal sebagai kapten kapal bajak laut pemburu siren. Bagaimana cara dia mendekati pangeran yang satu ini?


Elian yakin bahwa sebelum Ratu Laut dibunuh dan seluruh siren musnah, bangsa manusia akan terus dicekam ketakutan. Ketika berlayar dalam misi terbarunya, Elian menyelamatkan seorang gadis yang terapung di tengah lautan. Gadis itu mengaku punya informasi penting terkait senjata untuk mengalahkan Ratu Laut. Bisakah Elian memercayainya, atau perdamaian dunia hanya sekadar mimpi?





1


Lira

Aku memiliki satu jantung bagi setiap tahun aku hidup.
Ada tujuh belas jantung tersembunyi dalam pasir di kamarku. Sesekali, aku menggalinya, sekadar memeriksa apa jantung-jantung itu masih di sana. Terkubur dalam-dalam dengan kondisi berlumuran darah. Aku menghitung satu demi satu, supaya yakin tidak ada yang dicuri malam-malam. Tak heran aku cemas. Jantung adalah kekuatan. Seandainya ada satu hal yang didambakan bangsaku lebih daripada lautan, itu adalah kekuatan.
Aku telah mendengar banyak hal: cerita tentang jantung hilang dan para perempuan terpancang harpun di dasar lautan sebagai hu-kuman atas pengkhianatan. Mereka dibiarkan menderita hingga darah menjadi garam dan mereka larut menjadi buih laut. Mereka adalah para perempuan yang mengambil simpanan dari kerabat mereka. Para mermaid lebih menyerupai ikan daripada manusia, dengan tubuh bagian atas yang sesuai dengan sisik membusuk sirip mereka.
Tidak seperti siren, mermaid memiliki tubuh dan tungkai biru, tidak punya rambut, dan tidak punya rahang, sehingga mulut mereka dapat membuka lebar hingga seukuran perahu kecil dan menelan hiu bulat-bulat. Kulit biru gelap mereka dihiasi sirip yang menyebar di lengan dan tulang punggung. Ikan sekaligus manusia, tanpa keindahan dari keduanya.
Mereka bisa jadi mematikan, layaknya semua monster. Namun, tidak seperti siren yang merayu dan membunuh, mermaid tetap ter-pikat oleh manusia. Mereka mencuri barang remeh-temeh dan mem-buntuti kapal dengan harapan harta karun akan jatuh dari geladak. Terkadang, mereka menyelamatkan nyawa pelaut dan tidak mendapat imbalan apa-apa selain jimat. Dan jika mereka mencuri jantung yang kami simpan, itu bukan demi kekuatan. Mereka beranggapan jika me-makan cukup banyak jantung, mereka mungkin menjadi manusia.

Aku benci mermaid.
Rambutku tergerai menuruni punggung, semerah mata kiriku—dan hanya yang kiri, tentu saja, sebab mata kanan setiap siren sewarna laut tempat kami dilahirkan. Untukku, itu berarti lautan luas Diávolos, dengan air sewarna apel dan safir. Gabungan dari tiap-tiap nuansa sehingga warnanya bukan salah satunya. Dalam lautan itulah berdiri kerajaan laut Keto.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa siren itu cantik, tapi keturunan Keto merupakan kerabat kerajaan yang memiliki kejelitaan tersendiri. Keanggunan yang ditempa dalam air laut dan keningratan. Kami memiliki bulu mata bagaikan serpihan es dan bibir semerah da-rah pelaut. Heran juga kami bahkan membutuhkan lagu kami untuk mencuri hati.
“Mana yang mau kau ambil, Sepupu?” tanya Kahlia dalam bahasa. Psáriin
Dia duduk di sampingku di batu dan memandangi kapal di kejauhan. Sisiknya cokelat kemerahan gelap dan panjang rambut pirangnya nyaris tak mencapai dada, yang ditutupi jalinan rumput laut jingga.
“Kau konyol,” kataku kepadanya. “Kau sudah tahu yang mana.”
Kapal itu berlayar pelan mengarungi perairan tenang Adékaros, salah satu dari banyak kerajaan manusia yang aku bersumpah akan menyingkirkan pangerannya. Bentuknya lebih kecil daripada kebanyakan kapal lain dan terbuat dari kayu merah terang yang mewakili warna negara mereka.

Manusia gemar memamerkan harta kepada dunia, tapi itu hanya menjadikan mereka sasaran bagi makhluk seperti Kahlia dan aku, yang bisa dengan mudah menemukan kapal kerajaan. Lagi pula, dalam armadanya, hanya kapal itulah yang kayunya dicat dan berbendera harimau. Satu-satunya kapal yang pernah ditumpangi Pangeran Adé-karosin.
Sasaran empuk bagi mereka yang berniat berburu.
Matahari membebani punggungku. Panasnya menekan leher ku dan menyebabkan rambut menempel di kulit basahku. Aku mendamba-kan lautan es, yang dinginnya sangat tajam sehingga rasanya bagaikan tikaman pisau cemerlang ke dalam celah di antara tulangku.
“Sayang sekali,” ujar Kahlia. “Waktu kuintai, dia terlihat mirip malaikat. Wajahnya cantik sekali.”
“Jantungnya pasti lebih cantik.”
Kahlia merekahkan senyum liar. “Sudah lama sekali sejak pem-bunuhan terakhirmu, Lira,” dia menggoda. “Kau yakin masih mahir?”
“Setahun tidak bisa dibilang lama sekali.”
“Bergantung siapa yang menghitung.”

Aku mendesah. “Kalau begitu, katakan siapa mereka, supaya aku bisa membunuh mereka dan mengakhiri obrolan ini.”
Cengiran Kahlia nakal. Jenis yang dia tunjukkan hanya pada momen-momen ketika aku paling menakutkan, sebab itulah sifat yang seharusnya paling bernilai bagi para siren. Kekejian kami dihargai. Persahabatan dan kekeluargaan diajarkan sebagai hal yang seasing daratan. Kesetiaan hanya ditujukan bagi Ratu Laut.
“Hari ini kau agak kurang kejam, ya?”
“Perlu kuingatkan,” balasku. “Ada tujuh belas jantung di bawah ranjangku.”

Kahlia mengibaskan air dari rambut. “Banyak sekali pangeran yang telah kau rasakan.”
Dia mengucapkannya seolah itu sesuatu yang patut dibanggakan, tapi itu karena Kahlia masih muda dan baru merenggut dua jantung. Tak satu pun dari keluarga kerajaan. Itu spesialisasiku, wilayahku. Sebagian ketakziman Kahlia berasal dari itu. Keingintahuan apakah bibir seorang pangeran rasanya berbeda dengan bibir manusia lain. Aku tidak tahu bedanya, sebab hanya pangeran yang pernah kurasakan.
Sejak dewi kami, Keto, dibunuh manusia, telah menjadi kebiasaan turun-temurun untuk mencuri jantung setiap tahun, pada bulan kela-hiran kami. Itulah perayaan bagi kehidupan yang diberikan Keto kepa-da kami dan upeti pembalasan dendam untuk nyawa yang direnggut manusia darinya. Ketika aku masih terlalu muda untuk berburu, ibuku yang melakukannya untukku, sebagai tradisi. Dan dia selalu mem-beriku jantung para pangeran. Beberapa pangeran usianya semuda aku. Beberapa lainnya sudah tua dan keriput, atau anak tengah yang tak pernah punya kesempatan berkuasa. Raja Armonía, contohnya, pernah memiliki enam putra, dan Ibu membawakanku jantung mereka satu per satu setiap tahun pada hari ulang tahunku.
Setelah aku akhirnya cukup dewasa untuk menjelajah sendiri, tak terpikir olehku untuk beralih dari keluarga kerajaan dan mengincar para pelaut biasa seperti yang dilakukan para siren lainnya, atau bahkan memburu pangeran yang suatu hari nanti akan naik takhta. Aku jelas pengikut setia tradisi ibuku.
“Kau bawa cangkang kerangmu?” tanyaku.
Kahlia menyibak rambut untuk memamerkan cangkang kerang jingga yang dilingkarkan di leher. Cangkang serupa, tapi sedikit lebih merah, menggantung di leherku. Kelihatannya tidak penting, tapi itu-lah cara termudah bagi kami untuk berkomunikasi. Kalau kami meme-ganginya di telinga, kami bisa mendengar suara lautan dan nyanyian Keto di istana bawah laut yang kami sebut rumah. Bagi Kahlia, cang-
kang itu bisa menjadi peta Laut Diávolos seandainya kami terpisah. Kami jauh dari kerajaan, butuh waktu hampir seminggu untuk bere-nang ke sini. Mengingat usia Kahlia empat belas tahun, dia cenderung ingin selalu dekat dengan istana, tapi akulah yang memutuskan itu ha-rus berubah, dan sebagai seorang Putri, kehendakku sama saja dengan hukum.
“Kita tidak akan terpisah,” kata Kahlia.
Biasanya, aku tidak keberatan jika salah satu sepupuku tersesat di lautan asing. Mereka, pada umumnya, merupakan kelompok membo-sankan dan mudah diprediksi, dengan ambisi dan imajinasi terbatas. Sejak bibiku meninggal, mereka menjadi tak lebih dari para penjilat dan pemuja ibuku. Konyol. Ratu Laut ada bukan untuk dipuja. Dia ada untuk ditakuti.
“Ingat, pilih satu saja,” aku memberi instruksi. “Tetap fokus.”
Kahlia mengangguk. “Yang mana?” tanyanya. “Atau aku akan mendengarnya bernyanyi waktu aku tiba?”

“Hanya kita yang bernyanyi,” jawabku. “Itu akan memikat mereka semua. Tapi, kalau kau fokus pada satu orang, dia akan jatuh cinta mati-matian padamu sehingga, bahkan selagi tenggelam, dia hanya akan meneriakkan kecantikanmu.”
“Biasanya mantranya hilang ketika mereka mulai sekarat,” kata Kahlia.
“Jika kau fokus pada mereka semua, jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa tak satu pun dari mereka yang didambakan hatimu. Triknya adalah menginginkan mereka sebesar mereka menginginkanmu.”
“Tapi mereka menjijikkan,” ujar Kahlia. Sepertinya dia tidak yakin akan kata-katanya sendiri, tapi ingin agar aku memercayai sebaliknya. “Bagaimana mungkin kita mendambakan mereka?”
“Karena sekarang kau bukan sekadar berurusan dengan pelaut biasa. Kau berurusan dengan keluarga kerajaan, dan di balik keluarga kerajaan ada kekuasaan. Kekuasaan selalu didambakan.”
“Keluarga kerajaan?” Kahlia ternganga. “Kupikir ….”
Ucapannya terhenti. Dia pikir, para pangeran adalah milikku dan aku tidak berbagi. Itu bukannya tidak benar, tapi di mana ada pangeran, selalu ada raja dan ratu, dan aku tak pernah butuh mereka. Penguasa mudah digulingkan. Para pangeranlah yang memiliki daya tarik. Dalam kebeliaan mereka. Dalam kesetiaan rakyat mereka. Dalam kemungkinan mereka bisa menjadi pemimpin suatu hari nanti. Mereka adalah penguasa generasi berikutnya, dan dengan membunuh mereka, aku membunuh masa depan. Persis yang diajarkan Ibu kepadaku.
Aku meraih tangan Kahlia. “Kau boleh ambil ratunya. Aku tidak tertarik pada masa lalu.”
Mata Kahlia berbinar. Mata kanannya juga memiliki warna safir Laut Diávolos yang kukenal dengan baik, tapi mata kirinya, kuning krem yang nyaris tak bisa dibedakan dari warna putih, berkobar oleh kegembiraan langka. Jika dia mencuri jantung keluarga kerajaan untuk ulang tahun kelima belasnya, dia pasti terhindar dari kemarahan abadi ibuku.
“Dan kau mengambil sang Pangeran,” kata Kahlia. “Yang berwajah cantik.”
“Aku tak peduli wajahnya.” Kulepas tangannya. “Jantungnya yang kuincar.”
“Begitu banyak jantung.” Suaranya bagai malaikat. “Kau akan segera kehabisan tempat untuk mengubur semuanya.”
Aku menjilat bibir. “Mungkin,” sahutku. “Tapi, seorang putri harus mendapatkan pangerannya.”[]