Islam tidak melulu berisi doktrin dan teologi, tetapi juga tentang keadaban, kebudayaan, dan peradaban. Bukti itu ditunjukkan dengan diutusnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. di muka bumi ini untuk memperbaiki akhlak manusia. Estafet tugas mulia itu diteruskan oleh penyebar Islam awal, terutama Walisongo dan pesantren-pesantren tradisional di Nusantara, yang di dalamnya terdiri dari empat entitas yang menyatu; kiai, santri, kurikulum, dan asrama. Keempat pilar inilah yang membentuk generasi beretika.
Dalam upaya tersebut, pendidikan pesantren berpegang teguh pada ajaran Rasul, dengan menjaga tradisi sanad keilmuan yang selektif —di saat yang sama, dengan cerdiknya— mereka menanamkan Islam pada lingkungan sekitar tanpa intimidasi dan memberangus tradisi dan kearifan lokal. Hasilnya, seperti yang kita lihat di berbagai pesantren tradisional sekarang: kearifan lokal terpelihara, sementara nilai-nilai Islami mengakar dan adiluhung. Buku ini menghadirkan bukti antropologis bagaimana Islam rahmatan lil alamin bersenyawa dengan kebudayaan lokal dan hasilnya adalah Islam Nusantara.
Endorsement:
“Buku ini memuat sumber-sumber primer dan sekunder yang sangat berguna untuk memahami secara emik dan holistik dunia pesantren, sebuah subkultur yang menjadi akar Islam Nusantara.”
—Agus Sunyoto, penulis buku Megabestseller Atlas Walisongo, Ketua Lesbumi PBNU
“Pesantren di mata para perintis kebangsaan dan pendiri negara kita adalah perguruan bangsa, bukan sekadar sekolah. Tidak hanya mengajarkan nilai-nilai keislaman tetapi juga pengajaran karakter berke-Nusantara-an. Dengan modal itu pesantren mencetak manusia-manusia yang ikhlas, jujur, berakhlak mulia, mandiri, berjuang, dan bertanggung jawab untuk bangsa ini. Fondasi atau dasar dari semua pengajaran ilmu pengetahuan dan pendidikan karakter dalam pesantren itu terletak pada basis kebudayaan, adat, dan tradisi Nusantara kita di mana asas kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, dan tanggung jawab sosial bagi masyarakat dan bangsa ini tertanam kokoh. Totalitas kepesantrenan itulah yang kini direduksi atau dipotong-potong oleh istilah ‘pesantren tradisional’ dalam rezim akademik kampus. Lalu dibuat dikotomi antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Padahal yang terakhir ini adalah sekolah asrama eksklusif jauh dari masyarakat lalu pakai merek pesantren, tapi fondasi kepesantrenan sudah tercerabut dari sistem sekolah itu. Semoga buku Mas Aguk Irawan ini memberi pencerahan kepada kita untuk kembali ke khittah pesantren yang sesungguhnya. Seperti dulu yang diperjuangkan Dokter Soetomo dan Ki Hadjar Dewantara agar pesantren benar-benar nyata dan berkarakter dalam membangun peradaban bangsa kita di masa depan. Bukan sekadar klangenan orang-orang yang rindu kampung halaman mirip pemuasan para turis akan benda-benda antik nan eksotik.”
—Ahmad Baso, penulis buku Pesantren Studies