Takdir menyatukan mereka.
Takdir pula yang memisahkan mereka.
Hidup Cyra Noavek dan Akos Kereseth dikendalikan takdir yang disampaikan sang peramal saat mereka lahir. Mereka tidak dapat meloloskan diri dari takdir. Akos mencintai Cyra, meskipun dia ditakdirkan tewas demi keluarga gadis itu. Ketika ayah Cyra, sang tiran kejam memicu perang besar, Akos yakin akhir hidupnya sudah dekat.
Akos dan Cyra bekerja sama untuk menghentikan sang tiran. Namun sanggupkah Cyra membunuh ayahnya sendiri? Sanggupkah Akos mengorbankan nyawanya? Atau mungkin takdir punya rencana lain yang tak terduga untuk mereka berdua.
Pamungkas dwilogi Carve the Mark, persembahan dari Veronica Roth, penulis trilogi Divergent yang telah mencetak kesuksesan skala internasional. Karya-karyanya selalu masuk daftar laris The New York Times.
PROLOG EIJEH
“MENGAPA BEGITU KETAKUTAN?” KAMI bertanya pada diri kam sendiri.
“Dia akan datang untuk membunuh kita,” kami menjawab.
Kami dulu terkejut ketika merasa berada di dua tubuh sekaligus. Namun, kami telah terbiasa dengan hal itu dalam beberapa siklus sejak perubahan terjadi, sejak berkah-Arus kami bergabung menjadi berkah baru yang aneh ini. Sekarang, kami tahu cara berpura-pura bahwa kami adalah dua orang yang berbeda, bukannya satu—meskipun, saat hanya berdua, kami memilih untuk menerima kenyataan. Kami adalah satu orang dalam dua tubuh.
Kami tidak berada di Urek, lokasi terakhir yang kami ketahui. Kami melayang di luar angkasa—lengkungan aliran-Arus yang berkilau adalah satu-satunya interupsi dalam kegelapan total.
Hanya satu dari dua sel kami yang memiliki jendela. Sel-sel itu sempit, dengan kasur tipis di dalamnya dan sebotol air. Satu sel lagi adalah bagasi yang berbau disinfektan, pengap, dan busuk. Satu-satu-nya sinar berasal dari ventilasi di pintu, yang sekarang tertutup, tetapi tidak tersegel rapat dari cahaya di lorong.
Kami merentangkan dua lengan—satu lebih pendek dan lebih cokelat, satu lagi panjang dan pucat—bersamaan. Lengan yang pendek dan lebih cokelat, satu lagi panjang dan pucat—bersamaan. Lengan pertama terasa lebih ringan, yang kedua canggung dan berat. Reaksi obat telah memudar dari satu tubuh, tetapi di tubuh satunya belum.
Satu jantung berdebar, keras, dan satu jantung lagi berdegup dengan irama yang teratur.
Untuk membunuh kita,” kami berkata pada diri sendiri. “Apa kah kita yakin?”
“Seyakin takdir. Dia ingin kita mati.”
“Takdir.” Ada pertentangan di sini. Seperti seseorang yang bisa mencintai sekaligus membenci sesuatu pada saat yang bersamaan, kami mencintai dan membenci takdir-takdir, kami memercayai dan tidak memercayainya. “Apa yang biasa ibu kita ucapkan—” Kami memiliki dua ibu, dua ayah, dua saudari, tetapi hanya satu saudara. “Terima takdirmu, atau hadapi, atau—”
“‘Tanggung takdirmu,’ dia berkata,” kami menjawab. “‘Karena segala hal lain adalah delusi.’”[]
1
Shithi. Kata Kerja.
Dalam bahasa Thuvhesit berarti: “bisa/mesti/harus”.
BAB 1
CYRA
LAZMET NOAVEK, AYAHKU sekaligus mantan tiran Shotet, telah dianggap mati selama lebih dari sepuluh musim. Kami mengadakan upacara pemakaman untuknya dalam ziarah pertama setelah dia pergi, mengirimkan zirah tuanya ke luar angkasa, karena tidak ada jasad yang ditemukan.
Namun, abangku, Ryzek, yang terpenjara di dalam perut kapal pengangkut ini, berkata bahwa Lazmet masih hidup.
Terkadang, ibuku memanggil ayahku “Laz”. Tidak ada yang berani menyebutnya begitu selain Ylira Noavek. “Laz,” ibuku akan berkata, “biarkan saja.” Dan ayahku akan patuh, selama ibuku tidak memerintahnya terlalu sering. Dia menghormati ibuku, meskipun tidak menghormati orang lain, bahkan teman-temannya sendiri.
Terhadap ibuku, dia menunjukkan sikap penuh kelembutan, tetapi terhadap orang lain … begitulah.
Abangku—yang memulai kehidupannya dengan sifat lembek, dan baru-baru ini saja mengeras menjadi seseorang yang tega menyiksa adiknya sendiri—telah belajar mencungkil mata-orang dari Lazmet. Dia juga belajar cara menyimpannya, di dalam pengawet, agar tidak membusuk. Sebelum benar-benar memahami isi stoples-stoples di Aula Senjata, aku pergi ke sana untuk memandanginya, di rak-rak yang jauh lebih tinggi daripada kepalaku, berkilauan dalam cahaya temaram. Selaput-selaput pelangi hijau, cokelat, dan kelabu, mengambang, bagaikan ikan bergerak naik turun ke permukaan sebuah akuarium untuk menyantap makanan.
Ayahku tidak pernah melukai seseorang dengan kedua tangannya sendiri. Dia juga tidak pernah memerintah orang lain untuk melakukannya. Dia menggunakan berkah-Arusnya untuk mengendalikan tubuh orang tersebut, untuk memaksanya melukai diri sendiri.
Kematian bukan satu-satunya hukuman yang bisa kita berikan pada seseorang. Kita juga bisa memberi dia mimpi buruk.
Lama setelah itu, Akos Kereseth datang untuk menemuiku di dek navigasi kapal penumpang kecil yang membawa kami meninggalkan planet kami. Di sana, bangsaku, Shotet, sekarang akan segera berperang dengan bangsa Akos, Thuvhe. Aku duduk di kursi kapten, bergerak maju-mundur untuk menenangkan diri. Aku bermaksud menyampaikan kata-kata Ryzek padanya, bahwa ayahku—jika dia memang ayahku, jika Ryzek benar-benar abangku—masih hidup. Ryzek sepertinya yakin bahwa dia dan aku tidak benar-benar sedarah, bahwa aku bukan seorang Noavek sejati. Karena itulah, dia berkata, aku tidak mampu membuka kunci gen yang mengamankan ruang-ruang pribadinya, aku tidak mampu membunuhnya saat pertama kali mencoba.
Namun, aku tak tahu bagaimana awalnya. Dengan kematian ayahku? Dengan jasad yang tidak pernah kami temukan? Dengan perasaan mengusik bahwa penampilan fisik Ryzek dan aku yang sangat tidak mirip sehingga mustahil kami bersaudara?
Akos sepertinya tidak ingin berbicara juga. Di lantai, dia menghamparkan selimut yang dia temukan di sebuah tempat di kapal, di antara kursi kapten dan dinding, dan kami berbaring di atasnya, berdampingan, menatap kehampaan. Bayangan-bayangan Arus—kemampuanku yang aktif dan menyakitkan—membelit kedua lenganku bagaikan tali hitam, mengerahkan rasa sakit yang dalam hingga ujung-ujung jariku.
Aku tidak takut pada kehampaan. Kehampaan membuatku merasa kecil. Tidak terlalu terasa saat pertama kali dilihat, apalagi saat kedua kalinya. Dan ada rasa nyaman di dalamnya, karena sering kali aku khawatir aku mampu menyebabkan terlalu banyak kerusakan. Setidaknya, jika aku kecil dan hanya sendirian, aku tidak akan menyebabkan kerusakan lagi. Aku hanya menginginkan semua yang berada dalam jangkauanku.
Telunjuk Akos mengait kelingkingku. Di bagian berkah-Arusnya bertemu dengan berkah-Arusku, bayangan-bayangan Arus menghilang.
Ya, apa yang berada dalam jangkauanku jelas sudah cukup bagiku.
“Maukah kau … mengatakan sesuatu dalam bahasa Thuvhesit?” dia bertanya.
Aku menoleh ke arahnya. Dia masih menatap jendela, senyum samar tersungging di bibirnya. Bercak-bercak mewarnai hidungnya, dan salah satu kelopak matanya, tepat di dekat bulu mata. Aku ragu terhadap tanganku sendiri yang terangkat dari selimut, ingin menyentuhnya sekaligus menunggu saat yang tepat. Kemudian, aku menelusuri alis di wajahnya dengan ujung jariku.
“Aku bukan burung peliharaan,” tukasku. “Aku tidak berkicau jika diperintah.”
“Ini permintaan, bukan perintah. Permohonan sederhana,” dia berkata. “Ucapkan saja nama lengkapku, mungkin?”
Aku tertawa. “Sebagian besar namamu berasal dari bahasa Shotet, ingat?”
“Benar.” Dia menyambar tanganku dengan mulutnya, mencoba menggigit. Itu membuatku tertawa. “Apa yang paling sulit kau ucapkan, saat pertama kali belajar?”
“Nama-nama kotamu, susah sekali,” jawabku saat dia melepaskan tanganku untuk menyambar tangan satunya, menggenggam kelingking dan ibu jariku dengan semua ujung jarinya. Dia memberikan kecupan ke bagian tengah telapak tanganku, yang kapalan karena menggeng-gam belati-belati-Arus. Aneh, sesuatu sesederhana itu, diberikan pada bagian paling keras dariku, bisa benar-benar meluluhkanku, menyebarkan kehidupan ke setiap saraf.
Aku mendesah, melunak.
“Baiklah, aku akan mengucapkannya. Hessa, Shissa, Osoc,” aku berkata. “Ada seorang kanselir yang bernama Hessa di jantung Thuvhe. Nama keluarganya adalah Kereseth.”
“Satu-satunya kanselir Kereseth sepanjang sejarah Thuvhesit,” Akos berkata, membawa telapak tanganku ke pipinya. Aku menyangga tubuh dengan satu siku dan menunduk di atas tubuh Akos, rambutku terurai, membingkai wajah kami, panjang di satu sisi meskipun sekarang ada silverskin di sisi lain kepalaku. “Aku tahu itu.”
“Selama ini, hanya ada dua keluarga yang mendapat takdir di Thuvhe,” aku berkata, “tapi, selain satu perkecualian itu, kepemimpinan selalu dipegang keluarga Benesit, ketika takdir-takdir memilih nama satu kanselir. Menurutmu, itu aneh, bukan?”
“Mungkin kami tidak ahli memimpin.”
“Mungkin takdir berpihak pada kalian,” aku berkata. “Mungkin singgasana adalah kutukan.”
“Takdir tidak berpihak padaku,” Akos berkata lembut, begitu lembut sehingga aku nyaris tidak menyadari maksudnya. Takdirnya—anak ketiga keluarga Kereseth akan tewas saat melayani keluarga Noavek—adalah meninggalkan tanah airnya untuk keluargaku, melayani kami, kemudian gugur. Bagaimana mungkin ada orang melihat hal selain penderitaan dalam takdir itu?
Aku menggeleng. “Maaf, aku tidak berpikir—”
“Cyra,” dia menyela. Kemudian, dia terdiam, mengerutkan kening padaku. “Kau baru saja meminta maaf?”
“Aku tahu kata maaf,” aku menjawab, membalas merengut. “Aku bukan orang yang sama sekali tidak tahu sopan santun.”
Dia tertawa. “Aku tahu kata Essanderae yang artinya ‘sampah’; bukan berarti terdengar benar saat kuucapkan.”
“Baiklah, aku menarik permintaan maafku.” Aku menjentik hi-dung-nya, keras, dan ketika dia mengernyit, masih tertawa, aku bertanya, “Apa kata Essanderae yang artinya ‘sampah’?”
Dia mengucapkannya. Kedengarannya itu sebuah kata yang dipantulkan oleh cermin, pertama diucapkan dari depan, kemudian dari belakang.
“Aku sudah menemukan kelemahanmu,” dia berkata. “Aku tinggal menantangmu dengan pengetahuan yang tidak kau miliki, dan perhatianmu langsung teralihkan.”
Aku memikirkan itu. “Kurasa kau boleh mengetahui salah satu ke-lemahanku … mengingat begitu banyak kelemahanmu yang bisa dieksploitasi.”
Dia menaikkan alisnya, meragukanku, dan aku menyerangnya dengan jari-jariku, menusuk sisi kiri tubuhnya tepat di bawah siku dan sisi kanannya tepat di atas pinggul, tendon di belakang tungkai kanannya. Aku mengetahui titik-titik kelemahan itu saat berlatih—titik-titik yang tidak dia lindungi dengan baik, atau membuatnya mengernyit lebih hebat saat titik itu diserang—tetapi sekarang aku menggodanya dengan kelembutan yang kukira tidak kumiliki, mem-buatnya tertawa, bukan- mengernyit.
Dia menarikku ke atas tubuhnya, memegangi pinggulku. Jari-jarinya menyelinap ke bawah pinggang celanaku, dan itu sejenis penderitaan yang tidak kukenal, sesuatu yang sama sekali tidak keberatan kualami. Aku menyangga diriku di atas selimut, bertumpu di kedua sisi kepalanya, dan perlahan menunduk menciumnya.
Kami baru beberapa kali berciuman, dan aku belum pernah mencium siapa pun selain dirinya, jadi setiap ciuman tetap terasa seperti penemuan baru. Kali ini, aku menemukan tepian gigi dan ujung lidah; aku menemukan lutut bergeser di antara lututku, dan sebuah tangan menekan tengkukku, menarikku mendekat. Aku tidak bernapas, tidak ingin berhenti menciumnya, jadi tak lama kemudian, aku akhirnya tersengal membuatnya tertawa.
“Kuanggap pertanda bagus,” dia berkata.
“Jangan sok, Kereseth.”
Aku tak dapat menahan senyumku. Lazmet—dan pertanyaan apa pun yang mengusik tentang asal-usulku—tidak terasa sedekat ini sekarang. Aku aman di sini, melayang dalam sebuah kapal, entah di mana, bersama Akos Kereseth.
Kemudian, terdengar jeritan, dari suatu tempat jauh di dalam kapal. Kedengarannya itu suara kakak perempuan Akos, Cisi.[]