THE GEOGRAPHY OF BLISS (REPUBLISH-3)

Rp. 99,000

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.pdf.price) }}

(Pdf) +

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.hard_copy.price) }}

(Hard Copy)
Type
Qty Stock : Available
Qty
Stock : 22
Note
Mizan Store
Jakarta
4.5

The Geography of Bliss membawa pembaca melanglang-buana ke berbagai negara, dari Belanda, Swiss, Bhutan, hingga Qatar, Islandia, India, dan Amerika ... untuk mencari kebahagiaan.

Apakah orang-orang di Swiss lebih bahagia karena negara mereka paling demokratis di dunia? Apakah penduduk Qatar, yang bergelimang dolar dari minyak mereka, menemukan kebahagiaan di tengah semua kekayaan itu? Apakah Raja Bhutan seorang pengkhayal karena berinisiatif memakai indikator kebahagiaan rakyat yang disebut Gross National Happiness sebagai prioritas nasional? Mengapa penduduk Ashville, Carolina Utara, sangat bahagia? Mengapa penduduk di Islandia, yang suhunya sangat dingin dan jauh dari mana-mana, termasuk negara yang warganya paling bahagia di dunia? Mengapa di India kebahagiaan dan kesengsaraan bisa hidup berdampingan?

Dengan gaya yang khas dan kocak, serta detail yang menarik, Eric Weiner membawa pembaca ke tempat-tempat yang unik, bertemu dengan orang-orang yang beragam, dan menemukan bagaimana orang-orang di berbagai negara itu bisa bahagia dengan cara yang berbeda-beda.



Pendahuluan

Tas saya sudah dikemas dan perbekalan sudah dimasukkan. Saya siap bertualang. Maka, di suatu senja di musim panas, saya mengajak teman saya yang malas, Drew, pergi menjelajahi dunia-dunia baru dan saya berharap menemukan suatu kebahagiaan dalam perjalanan itu. Saya selalu percaya bahwa kebahagiaan itu dekat sekali. Triknya adalah bagai mana menemukan sudut yang benar.
Tak lama sebelum kami memulai perjalanan, Drew menjadi gelisah. Ia memohon agar saya membatalkan perjalanan, tapi saya bersikeras untuk lanjut terus, didorong oleh rasa penasaran tentang apa yang menunggu kami di depan sana. Bahaya? Keajaiban? Saya perlu tahu, dan sampai hari ini saya diyakinkan bahwa saya akan berhasil meraih apa yang saya inginkan di mana pun tempatnya, seandainya Kepolisian Baltimore tidak menyimpulkan, pikir saya waktu itu, bahwa bahu jalan raya bukanlah tempat bermain bagi dua anak usia lima tahun.
Sebagian orang menjadi suka bepergian. Sebagian orang mempunyai bakat bepergian sejak lahir. Kegelisahan saya, jika boleh disebut begitu, berlangsung selama bertahun-tahun setelah gagalnya ekspedisi saya bersama Drew. Kegelisahan itu muncul kembali setelah kuliah dengan kemarahan baru. Saya mati-matian ingin melihat dunia, terutama dengan dana dari pihak lain. Tapi bagaimana? Saya tidak mempunyai keterampilan yang dapat dijual, perasaan moralitas yang kerdil, dan watak pemurung. Saya memutuskan untuk menjadi jurnalis.
Sebagai seorang koresponden asing untuk National Public Radio (NPR), saya melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti Irak dan Afghanistan: tempat-tempat yang tidak membahagiakan. Di satu sisi, hal ini menimbulkan pengertian yang sempurna. Secara tidak sadar, saya mengamati peraturan menulis yang pertama: Tulislah apa yang Anda ketahui. Maka, dengan buku catatan di tangan dan tape recorder menggantung di bahu, saya menjelajahi dunia, menyampaikan cerita orang yang murung dan tidak bahagia. Memang, orang yang tidak bahagia, yang tinggal di tempat yang sangat tidak bahagia, dapat dijadikan cerita yang bagus. Mereka menyentuh lubuk hati saya dan hati saya terenyuh.
Mereka juga dapat menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan.
Saya penasaran, bagaimana kalau menghabiskan waktu selama satu tahun dengan melakukan perjalanan mengelilingi dunia, mencari tempat-tempat yang terkenal karena kekacauannya, tetapi justru itu adalah tempat-tempat bahagia yang tidak digembar-gemborkan? Tempat-tempat yang tak diragukan lagi mempunyai satu atau beberapa bahan yang kita anggap sangat penting untuk hidangan kebahagiaan sejati: di antaranya adalah uang, kesenangan, spiritualitas, keluarga, dan cokelat. Bagaimana jika Anda tinggal di negara yang luar biasa kaya dan tak seorang pun membayar pajak? Bagaimana jika Anda tinggal di negara tempat kegagalan adalah sebuah pilihan? Bagaimana jika Anda tinggal di sebuah negara yang begitu demokratis sehingga Anda memberikan hak pilih sampai tujuh kali dalam setahun? Bagaimana jika Anda tinggal di negara tempat pemikiran yang berlebihan dihalangi? Apakah dengan begitu Anda akan bahagia?
Itulah tepatnya yang ingin saya ketahui, dan hasil dari eksperimen yang terlampau berani adalah buku yang sekarang berada di tangan Anda ini.


Saya lahir di Tahun Wajah Penuh Senyum: 1963. Itulah ketika seorang desainer grafis dari Worcester, Massachu-setts, yang bernama Harvey Ball menemukan grafis kuning yang tersenyum lebar yang sekarang tersebar luas di mana-mana. Ciptaan Ball semula ditujukan untuk menghibur orang yang bekerja di perusahaan asuransi di semua tempat, namun sekarang menjadi sangat sinonim dengan simbol kebahagiaan Amerika yang sangat khas dan dangkal.
Sihir ikon keceriaan Ball tak pernah berhasil memengaruhi saya. Saya bukanlah orang yang bahagia. Belum pernah. Sebagai seorang anak, karakter Winnie-the-Pooh favorit saya adalah Eeyore. Bagi sebagian besar sejarah manusia, saya akan dianggap normal. Kebahagiaan, dalam kehidupan ini, di dunia ini, dulu disediakan bagi para dewa dan sedikit orang yang beruntung. Namun sekarang ini, kebahagiaan tidak hanya dianggap mungkin didapatkan oleh setiap orang, kebahagiaan juga diharapkan. Maka, saya, bersama jutaan orang lainnya, menderita penyakit modern unik yang oleh sejarawan Darrin McMahon disebut “ketidakbahagiaan karena tidak bahagia”. Hal ini sama sekali tidak menyenangkan.
Maka, saya seperti banyak orang lainnya, sudah berusaha. Saya tidak pernah menemukan buku aktivitas mandiri yang tidak saya sukai. Rak buku saya seperti monumen kesedihan abadi yang tinggi sekali, penuh dengan buku yang memberi tahu saya bahwa kebahagiaan terletak jauh di dalam diri saya. Jika saya tidak bahagia, nasihat mereka, berarti saya tidak cukup dalam menggali.
Aksioma “kompleks industri aktivitas mandiri” begitu kuat berurat akar sehingga menjadi tidak perlu pembuktian lagi. Hanya ada satu masalah: Aksioma itu tidak benar. Kebahagiaan tidak hanya berada di dalam diri kita, tetapi di luar sana. Atau, lebih tepatnya, garis antara di luar sana dan di dalam sini tidaklah ditentukan setegas seperti yang kita kira.
Almarhum filsuf kelahiran Inggris Alan Watts, dalam salah satu kuliahnya yang sangat bagus mengenai filosofi timur, menggunakan analogi ini: “Jika saya menggambar sebuah lingkaran, sebagian besar orang yang saya tanya tentang apa yang telah saya gambar akan menjawab bahwa saya telah menggambar lingkaran, atau cakram, atau bola. Sangat sedikit orang akan mengatakan saya telah menggambar lubang di dinding karena sebagian besar orang berpikir bagian dalam terlebih dahulu, daripada berpikir bagian luar. Tetapi sebenarnya, kedua sisi ini berjalan bersama—Anda tidak dapat mempunyai ‘di dalam sini’, kecuali jika Anda mempunyai ‘di luar sana’.”
Dengan kata lain, di mana kita adalah sangat penting bagi siapa kita.
Maksud saya dengan kata “di mana” adalah tidak hanya lingkungan fisik kita, tetapi juga lingkungan budaya kita. Budaya adalah lautan tempat kita berenang—begitu luas, begitu menelan semuanya, sehingga kita tidak mengetahui eksistensinya sebelum kita keluar darinya. Kebudayaan lebih penting daripada yang kita kira.
Secara tidak sadar, kita menggabungkan geografi dan kebahagiaan. Kita berbicara tentang mencari kebahagiaan, menemukan kesenangan, seakan-akan kebahagiaan dan kesenangan adalah tempat di atas atlas, tempat nyata yang dapat kita kunjungi hanya jika kita mempunyai peta yang tepat dan keterampilan navigasi yang benar. Siapa pun yang telah berlibur ke, misalnya, Kepulauan Karibia dan tebersit dalam benaknya pikiran yang tak terduga “Saya dapat bahagia di sini” tahu yang saya maksudkan.
Satu hal tersembunyi yang menggoda, tentu saja, adalah konsep menggoda dan licin yang dikenal sebagai surga. Konsep ini membohongi kita manusia selama beberapa waktu sekarang ini. Plato membayangkan Pulau yang Diberkati, suatu tempat di mana kebahagiaan mengalir seperti perairan Mediterania yang hangat. Sampai abad kedelapan belas, orang percaya bahwa surga yang disebutkan dalam Alkitab, Taman Eden, adalah sebuah tempat nyata. Tempat itu terdapat dalam peta—terletak, ironisnya, di pertemuan Sungai Tigris dan Eufrat, yang dalam zaman modern ini adalah Irak.
Penjelajah Eropa mempersiapkan ekspedisi mencari surga dengan mempelajari bahasa Aram, bahasa yang digunakan Yesus. Saya memulai perjalanan saya, pencarian saya akan surga, tidak dengan berbicara menggunakan bahasa Aram, melainkan bahasa kabur lainnya, liturgi modern tentang kebahagiaan yang dicapkan oleh para pemimpin baru, ilmu pengetahuan baru yang sedang berkembang tentang kebahagiaan. Saya meninjau ulang istilah-istilah seperti, “positive affect” (perasaan positif) dan “hedonic adaptation” (adaptasi terhadap kenikmatan). Saya tidak membawa Alkitab, hanya beberapa panduan Lonely Planet dan keyakinan bahwa, seperti yang dikatakan Henry Miller, “Tempat tidak pernah menjadi tujuan seseorang, tetapi tujuannya adalah suatu cara baru melihat hal-hal.”
Maka, di suatu hari yang panas dan lembap seperti biasanya di Miami (yang menurut konsep sebagian orang tempat itu sendiri adalah surga), saya mengemasi tas saya dan meninggalkan rumah saya guna melakukan misi yang saya ketahui dengan baik adalah misi yang bodoh, semuanya sebodoh anak lima tahun yang berputar-putar. Seperti yang dinyatakan penulis Eric Hoffer, “Pencarian kebahagiaan adalah salah satu sumber utama ketidak bahagiaan.” Tidak apa-apa. Saya sudah tidak bahagia. Saya tidak rugi apa-apa.[]