Pasca terjadinya burak (runtuhnya) Pajajaran 1579 M, Maulana Hasanudin tidak serta-merta menjadikan Pakuan (ibu kota Pajajaran) sebagai pusat pemerintahan bercorak Islam seperti Surasowan (Banten) dan Pakungwati (Cirebon). Pakuan dibiarkannya menjadi kawasan terbengkalai. Laporan Scipio (1687), Adolf Winkler (1690), dan para peneliti Barat sesudahnya, menemukan bekas-bekas reruntuhan di kawasan Pakuan Pajajaran ini. Dalam cerita-cerita tradisional dikisahkan setelah Prabu Siliwangi moksa, Keraton Pakuan berubah menjadi kawasan hutan. Dalam naskah Pantun Bogor episode Dadap Malang Sisi Cimandiri – yang menjadi spirit dan latar belakang novel Kesatria Terakhir ini – disebutkan bagaimana kobaran api yang membakar keraton dan seluruh kawasan kota Pakuan menghanguskan seluruh bangunan dan pepohonan, meninggalkan bara yang tidak padam selama beberapa minggu sesudahnya. Watu Gigilang berhasil diboyong ke Surasowan, tetapi mahkota Binokasih Sanghyang Pake lolos dan dibawa ke Sumedang Larang.
Dua puluh tahun setelah peristiwa burak Pajajaran, dua orang mantan prajurit Pajajaran yaitu Ki Tanjung Rangga dan Pandita Tundapura, berhasil mendidik dan membesarkan dua anak muda – Raksa Rineka dan Nyai Lara Bumi – untuk memelihara semangat mendirikan kembali Pajajaran Anyar. Waktu kemudian mempertemukan keduanya dalam kisah asmara. Ketika asmara bertakhta, Nyai Lara Bumi bertemu sang ayah yang tak lain pembunuh orang tua Raksa Rineka. Akankah Raksa Rineka memaafkan dan tetap mencintai Nyai Lara Bumi yang wangi tubuhnya selalu tak bisa hilang dari kesadarannya? Akankah dua insan murid Ki Tanjung Rangga dan Pandita Tundapura itu mampu membangun kembali Pajajaran Anyar?
Endorsemen:
“Begitulah, fakta-fiksi kerap dibatasi garis tipis ketika sastra mengangkat peristiwa sejarah. Di sinilah sisi subjektif sastrawan, sadar atau tidak, akan menyusup di balik penggambaran unsur-unsur intrinsik karya yang bersangkutan. Novel sejarah, Kesatria Terakhir: Misteri Runtuhnya Kerajaan Pajajaran karya E. Rokajat Asura merepresentasikan problem berkelindannya fakta-fiksi itu. Memang perlu kepiawaian. Tanpa itu, ia akan terasa cemplang. Dan penulis berhasil menyulapnya jadi kisah heroik, romantik, dan penuh greget! Saya menikmati novel ini sebagai tawaran dialog, sejauh mana fakta disajikan sebagai fiksi dan imajinasi bersandar pada kisah faktual. Lewat cara bertuturnya yang cerdas, renyah, dan mengalir berkelak-kelok, kita seperti diceburkan pada kisah penuh intrik, kaya filosofi dengan semangat hendak menegakkan sikap budaya. Sebuah potret masa lalu masyarakat Pasundan dalam tarik-menarik kekuasaan, perlawanan, dan penegasan mempertahankan identitas sosio-budaya. Di luar perkara itu, novel ini bolehlah ditempatkan sebagai bacaan yang dapat mendorong orang gemar membaca dan senang pada sejarah.”
—Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
“Kesatria Terakhir: Misteri Runtuhnya Kerajaan Pajajaran bukan saja memaparkan sejarah Pajajaran. Namun, juga memberi tahu soal pentingnya kesetiaan kepada negara, hormat kepada leluhur, dan kasih kepada sesama. Sesuatu yang makin dianggap bukan sesuatu.”
—Budi Ros, Aktor, Penulis, Sutradara Teater, Aktif di Teater Koma
“Kehadiran novel yang mengangkat sejarah Nusantara membuka cakrawala kebangsaan bagi generasi muda. Karya-karya penulis selalu membawa kita hanyut pada masa lampau. E. Rokajat Asura telah hadir bertutur di panggung International Ubud Writers & Readers Festival 2016 sebagai salah satu penulis berbakat Indonesia.”
—Kadek Purnami, General Manager Ubud Writers & Readers Festival