Buku Kelakar Madura Buat Gus Dur ditulis dalam rangka ‘menghadirkan’ kembali kearifan Gus Dur dalam ‘ramuan sakti’ kelakar Madura dengan segala pernak-pernik budayanya. Budaya dan cara pandang Madura yang "adiluhung" yang memacu gelak tawa,
sindirannya menyengat, namun tersimpan hikmah dan kebenaran bersahaja. Madura yang disajikan berdasar tutur tinular, faktual sejarah dengan centang perenang tokoh di dalamnya. Keragaman warna dan kelakar Madura yang dirajut dari perca-perca keseharian yang ada dalam buku ini akan semakin absah dan berafaedah bila kita adalah bagian dari yang ditertawai, seperti layaknya kita mentertawai diri sendiri. Buku ini mengajak kita untuk ‘Menjadi Indonesia Lewat Kelakar.’
Bagi H. Sujiwo Tejo, Gus Dur digelari Bapak Pluralisme dan Bapak Demokrasi itu biasa dan remeh. Keceplas-ceplosan Gus Dur-lah hal paling vital yang menentukan kedudukannya di tengah kemunafikan Nusantara. Kadang kita menganggapnya sepele. Kita lekas melupakannya. Gus Dur menjadi kinclong dibanding tokoh-tokoh setarafnya justru karena bawah sadar kolektif kita yang munafik ini sebetulnya merindukan keterusterangan. Sungguh agak kurang sedap dan kurang inspiratif mengenang Gus Dur hanya dalam hal ketokohannya di ranah pluralisme, demokrasi, dan pembaruan pemikiran Islam, tanpa mengenang keceplas-ceplosannya termasuk dalam melanggar tabu-tabu. Ibarat mengenang garam tanpa kita kenang asinnya.
Endorsemen:
“Dunia makin sempit. Tapi bukan dunianya yang menyempit, melainkan manusianya yang semakin tidak punya kesangggupan untuk memandang keluasan. Kehidupan makin dangkal. Tapi bukan kehidupan ini sendiri yang menjadi dangkal. Melainkan manusianya yang semakin tak mampu menyelami kedalaman. Negara makin miskin. Kebudayaan makin rendah. Peradaban makin kerdil. Karena manusia-manusia pelakunya salah sangka terhadap yang disebut kekayaan, tidak pernah melatih martabat dan ketinggian, serta tidak lagi ada pendidikan tentang kemuliaan dan keagungan. Masyarakat dan ummat manusia makin sedih dan menyedihkan. Karena manusianya menyangka bisa mendapatkan kegembiraan dari benda-benda, tanpa pernah belajar menggali kebahagiaan dari lubuk jiwanya sendiri.
Buku Tejo ini membukakan kembali pori-pori kegembiraan, keluasan, kedalaman, kemuliaan, bahkan keagungan. Yang terletak di kandungan kemanusiaannya manusia itu sendiri. Dunia, kemewahan dan kecanggihan, di jari jemari dan pena Tejo: tidak lagi menegangkan, mengimpit dan menindih manusia. Sebab dunia ini hanya lucu dan cukup ambil kegembiraannya saja.”
—Emha Ainun Nadjib, Budayawan
“Dengan cara canda yang segar Sujiwo Tejo selalu berhasil melancarkan kritik tajam kepada kita tanpa membuat kita marah. Buku Kelakar Madura Buat Gus Dur ini contohnya. Dia gambarkan cara Gus Dur menggunakan kekuasaannya dengan enteng, tanpa beban, dan berani. Dia gunakan setting masyarakat Madura yang lugu, menggemaskan, cerdik tapi tidak licik. Isinya kritik kanan kiri, tembak sana tembak sini. Tulisan-tulisan yang dihimpun di dalam buku ini pasti membuat kita geli dan tersenyum-senyum sendiri untuk akhirnya mengumpat, "Pancen jancuk dan edan, kok, Sujiwo Tejo iku.”
—Moh. Mahdud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2011
“Orang Madura dikenal dengan ketakterdugaan alur nalarnya. Itulah yang menjadikan mereka sumber anekdot yang tak pernah kering. Melihat kelokan dan lompatan nalar yang bertebaran di dalamnya, saya curiga jangan-jangan buku ini sengaja ditulis H. Sujiwo Tejo hanya sekadar sebagai bukti untuk menegaskan ke-Madura-annya. Selama ini, orang lebih mengenalnya sebagai dalang, yang berasosiasi dengan Jawa, atau penyanyi atau paling banter sebagai presiden di negeri imajinasi yang dia namai Jancukers. Semua label ini tentu saja tak membantunya menunjukkan ke-Madura-an. Tak percaya? Baca sendiri buku ini, Anda pasti akan terloncat-loncat dikejutkan oleh kelokan, putaran atau lompatan nalar yang dipertunjukkan H. Sujiwo Tejo dari awal sampai akhir, dengan obyek yang tak kalah gila: Gus Dur. Tokoh yang sangat ‘Madura’ kalau diukur dari kejutan-kejutan nalarnya selama ini.”
—Anis Sholeh Ba’asyin, pengasuh Suluk Maleman
“Saya ingat sebuah kisah. Suatu ketika di Madura, Presiden Habibie bertanya,’ Berapa tinggi tiang bendera itu?’ Satu orang langsung memanjatnya. ‘Lho, kenapa dia harus manjat?’ Satu orang lainnya menyergah,’ Kan Bapak tadi menanyakan tinggi, bukan panjang.’ Logika orang Madura adalah logika Tuhan. Ketika semua orang yang bukan orang Madura masih mencari jalan masuk, orang Madura sudah menemukan jalan keluar — bahkan tanpa harus masuk. Mereka berpikir jauh ke depan, bahkan mungkin terlalu maju, sampai-sampai kita tidak sanggup mendahuluinya. Membaca buku Kelakar Madura Buat Gus Dur, saya menemukan kelakar tidak sekadar humor, atau lelucon, atau guyonan, atau apa pun namanya dalam artian sekadar jenaka, melainkan daya nalar yang tidak hanya dengan akal sehat, tapi juga kuat dengan imajinasi. Dan, itulah yang disebut spiritualitas.”
—Candra Malik, budayawan sufi