GHOST FLEET

Rp. 145,000

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.pdf.price) }}

(Pdf) +

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.hard_copy.price) }}

(Hard Copy)
Type
Qty Stock : Available
Qty
Stock : 26
Note
Mizan Store
Jakarta
4.5

“Bacaan Wajib” para pemimpin militer di seluruh dunia

Ghost Fleet, sebuah kisah tentang armada hantu dan Perang Dunia Ketiga yang diramalkan akan segera terjadi. Pasukan marinir bertempur dalam dahsyatnya peperangan Pearl Harbor modern; para pilot pesawat tempur berusaha mengalahkan drone-drone antiradar; hingga para peretas remaja yang mencoba saling meretas sistem pertahanan antarnegara. Bahkan, miliarder Silicon Valley pun ikut memobilisasi cyber-war dan seorang pembunuh berantai yang membawa dendam pribadinya.

Siapakah yang akan menjadi pemenangnya? Seperti apa bentuk dunia setelah perang paripurna ini? Pada akhirnya, pemenang bergantung pada siapa yang lebih cakap mengambil pelajaran dari masa lampau dan ahli memanfaatkan senjata masa depan. Jangan sepelekan, kisah di novel ini mungkin saja jadi realitas masa depanmu.

Ghost Fleet, debut novel karya dua pakar keamanan nasional ternama di Amerika ini menjadi perbincangan dunia karena didasarkan pada riset mutakhir.




400 Kilometer di Atas Permukaan Bumi

“Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Apa maksud perkataan Vitaly? Sebagai satu-satunya astronaut Amerika di Stasiun Ruang Angkasa Internasional, Kolonel Angkatan Udara AS, Rick Farmer, terbiasa menjadi sasaran keusilan sang kru berkebangsaan Rusia. Baru-baru ini, mereka menjahit rapat-rapatkan tong tidur Farmer saat dia berada di dalamnya, kemudian mempertontonkan reaksinya ke seluruh jaringan.

Itu memang lucu. Tapi kali ini dia sedang di luar. Ada aturan main yang berbeda saat kau mengawang-awang di luar dan hanya terhubung ke stasiun oleh seutas tali tambatan tipis.

Anehnya, tak seperti biasa, suara Kosmonaut Vitaly Simakov tidak disertai tawa menggelegar.

Farmer memeriksa ulang tali tambatannya, bukan karena kebutuhan apa pun, melainkan karena hanya ingin memastikan. Dua puluh empat menit sudah berlalu sejak dia menghubungi Vitaly, atau siapa pun di dalam stasiun, dari radio pada baju luar angkasanya. Pesan tadi adalah pesan terakhir yang didengar Farmer dari sang komandan misi setelah dia keluar dari stasiun untuk memperbaiki panel surya nomor empat yang sering tiba-tiba berulah. Bahkan, Houston pun tidak tersambung. Rick Farmer menyimpulkan bahwa keheningan ini diakibatkan oleh sebuah masalah teknis yang membuat kehidupan sehari-hari di luar angkasa terasa sangat sulit, berbeda dengan cerita-cerita romantis yang masih dikarang NASA untuk media.

Dengan gelar Ph.D. dari Caltech di bidang rekayasa sistem, serta lebih dari 4.000 jam terbang dalam semua jenis pesawat dari jet latih T-38 hingga jet tempur siluman F-22, Farmer tahu bahwa sebuah benda besar yang rumit tidak selalu bekerja sebagaimana mestinya. Dia ingat ketika dua putra kembarnya bermain-main dengan perlengkapan terbangnya, malam sebelum penugasan pertamanya ke Afghanistan, sudah lama sekali. “Ayah butuh helm karena kadang-kadang pekerjaan Ayah sangat sulit.” Dia tidak memberi tahu kedua putranya bahwa dalam pekerjaannya, hal-hal paling biasa adalah yang tersulit.

Farmer mendekati pintu palka untuk masuk kembali ke stasiun ruang angkasa.

“Farmer, lakukan validasi. Buka pintu palka,” dia memberi perintah kepada sistem.

Tak terjadi apa-apa.

Farmer mengulang perintahnya, kali ini menekankan setiap kata agar peranti lunak pengenal suara bisa memahaminya.

“Farmer. Lakukan validasi. Buka. Pintu palka.”

Sistem seolah-olah tidak bisa mendengarnya.

Farmer menjangkau pengambil alih kendali manual dan mengangkat penutup yang melindungi tombol darurat pembuka pintu. Wah, pikirnya sambil menekan tombol, bisa-bisa keadaan ini segera berubah menjadi darurat.

Tidak terjadi apa-apa.

Dia menekan lagi, lebih keras, daya dari jari-jarinya di permukaan tombol merah cerah itu mendorong tubuhnya ke belakang di tengah ruang angkasa yang tak mengenal bobot. Seandainya dia tidak tertambat ke stasiun, daya dorong itu akan membuat dirinya berputar-putar dalam kecepatan 3 meter per detik pada lintasan ke arah Yupiter.

Nihil. Apa-apaan ini?

Bagian luar kaca helmnya berlapis emas, kacamata hitam termahal di dunia. Di balik kaca itu, terdapat serangkaian tampilan komputer yang menayangkan segala hal dari lokasi Farmer hingga suhu internal baju astronautnya.

Farmer mau tidak mau melihat cahaya merah berkedip-kedip di sudut, padahal dia tidak butuh diberi tahu oleh komputer bahwa detak jantungnya meningkat. Dia diam sejenak untuk menenangkan diri dengan menghela napas dalam-dalam, memandang ke hamparan biru luas di bawah sana. Dia berusaha mengabaikan kehampaan hitam di sekeliling Bumi, yang seakan-akan kian lebar dan mengancam. Setelah setengah menit bernapas teratur dari perut, seperti yang pernah diajarkan instruktur yoga NASA di Houston, Farmer menatap tajam ke arah pintu, seolah-olah berusaha membukanya dengan kekuatan pikiran.

Dia mencoba menekan tombol itu lagi, dan lagi. Tak terjadi apa-apa.

Dia mengulurkan tangan ke bawah untuk mengambil HEXPANDO. Alat heksagonal dengan kepala yang dapat terulur itu telah dirancang oleh para insinyur NASA untuk mencopot atau memasang sekrup berkepala soket di tempat-tempat yang sukar dijangkau. Semacam kunci pas yang sengaja dibuat supercanggih.

Dalam instruksi, disebutkan dengan jelas bahwa HEXPANDO “tidak dirancang untuk memuntir”.

Ah, masa bodoh.

Farmer memukul-mukulkan HEXPANDO ke pintu. Dia tidak bisa mendengar bunyi apa pun di ruang hampa, namun hantaman itu barangkali terdengar di dalam atmosfer buatan di balik pintu.

Terdengar desis statis dan radio Farmer hidup kembali.

“Vitaly, kau dengar aku? Aku khawatir ada apa-apa. Komunikasi terganggu lagi, dan sekarang sistem perintah-suara di pintu tidak ber fungsi,” kata Farmer. “Beri tahu Gennady, aku akan mengirim dia kem bali ke sekolah teknik di Siberia. Perbaikan yang dia lakukan kemarin malah merusak semuanya. Kau harus membuka pintu dari dalam secara manual.”


“Tidak bisa. Aku sudah tidak berwenang mengambil keputusan,” jawab Vitaly, suaranya murung.

“Bisa ulangi lagi?” kata Farmer. Lampu merah penanda detak jan-tung mulai berdenyut di luar bidang pandangnya, seolah-olah Planet Mars tiba-tiba berkelap-kelip di atas bahunya.

“Aku tak punya izin lagi untuk membuka pintu,” kata Vitaly.

“Punya izin? Apa maksudmu? Panggil Houston, kita harus meluruskan masalah ini,” kata Farmer.


“Selamat tinggal, Kawan. Aku benar-benar minta maaf. Ini perin-tah,” kata Vitaly.

“Aku punya perintah untukmu. Buka pintu keparat ini!” tandas Farmer.

Denyut statis lembut yang menyusul percakapan itu adalah bunyi terakhir yang didengar Farmer.

Setelah lima menit menggebrak-gebrak pintu, Farmer berbalik dari stasiun dan memandang ke Bumi di bawah kaki-kakinya. Dia dapat melihat daratan Asia berselimut warna putih, kabut asap tebal membentang dari Beijing ke arah selatan, menuju Shanghai.

Berapa lama waktu yang dia miliki? Lampu merah berdenyar-denyar kian cepat, menandakan napas yang semakin memburu. Farmer berusaha menenangkan diri dengan menghitung-hitung dalam kepalanya, laju perputaran Bumi, kecepatan stasiun ruang angkasa, serta oksigen yang masih tersisa. Adakah cukup waktu sampai Pesisir Timur Amerika Serikat terlihat? Istri dan kedua putranya yang sudah dewasa sedang berlibur di Cape Cod, dan dia ingin melihat mereka di bawah sana untuk terakhir kalinya.[]