PRINCESS OF TALES

Rp. 59,000

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.pdf.price) }}

(Pdf) +

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.hard_copy.price) }}

(Hard Copy)
Type
Qty Stock : Available
Qty
Stock : 2
Note
Mizan Store
Jakarta
4.5

“Gaarder adalah garansi bagi bacaan bermutu.”
Kompas

Sejak kecil, Petter lebih suka menyendiri di dalam dunia yang dia ciptakan. Dia terobsesi dengan cerita-cerita, terutama dengan Panina Manina, sang Putri Sirkus yang dikarangnya sendiri. Hingga dewasa pun, imajinasinya terus merajalela. Tak heran dia dijuluki Petter “si Laba-Laba”.

Tetapi, Petter membenci ketenaran dan tak mau memublikasikan tulisannya. Dia memilih menciptakan Writers' Aid, sebuah program yang didesain untuk menyediakan cerita-cerita bagi pengarang-pengarang internasional yang mengalami kebuntuan ide.

Meskipun programnya ini pada awalnya sangat sukses, Petter akhirnya terjebak dalam jaring yang ditenunnya sendiri. Skandal memalukan dalam dunia sastra internasional perlahan-lahan terkuak dan nyawa Petter terancam oleh pengarang-pengarang besar yang ingin menyelamatkan nama baik mereka. Tak disangka, kehancuran Petter ternyata bersumber dari perbuatannya masa lalu.

Novel ini akan mempertemukan Anda dengan Petter “si Laba-Laba,” tokoh ciptaan Gaarder yang paling membuat penasaran setelah Sophie dari Dunia Sophie.




Benakku bergolak. Ratusan gagasan baru menggelegak. Pikiran-pikiran terus membanjir.
Sampai tingkat tertentu, pikiran mungkin saja dapat dikendalikan, tetapi berhenti berpikir terlalu menguras tenaga. Saat kepala dikerubungi gagasan yang sedemikian memukau, aku tidak mampu membenahinya jika belum berhasil melontarkan gagasan-gagasan baru. Semua itu tidak mungkin bisa kusingkirkan.
Jarang sekali aku dapat mengingat-ingat pikiran-pikiranku. Sebelum aku berhasil mengendapkan salah satu inspirasi, biasanya ia telah mencair menjadi sebuah ide yang lebih baik. Namun, ide baru ini pun selalu berubah-ubah hingga aku harus menyelamatkannya dari derasnya ide-ide baru yang mengalir teratur bagaikan lahar gunung.



Kepalaku kembali dipenuhi suara. Aku merasa dihantui oleh jiwa-jiwa yang berkeriapan gelisah. Mereka menggunakan sel-sel otakku untuk saling berbicara satu dengan yang lain. Aku tidak memiliki ketenangan untuk menampung semuanya, sebagian harus dihalau keluar. Sedemikian banyak pikiran dalam kepala yang perlu dibongkarlepaskan secara teratur. Dalam tenggang yang tertib, aku harus duduk dengan pensil dan kertas untuk meringankan diri dari pikiran-pikiran itu.

Ketika terbangun beberapa jam lalu, aku yakin telah menyusun kalimat bijak paling menakjubkan di dunia. Sekarang aku tidak lagi yakin, tetapi setidaknya aku telah memberikan sebuah tempat yang layak pada ungkapan yang murni itu dalam buku catatanku. Aku yakin ia dapat ditukar dengan sebuah santapan malam yang lebih lezat. Jika kujual kepada seseorang yang telah punya nama, barangkali ungkapanku itu akan dimasukkan dalam terbitan Ungkapan Terkenal mendatang.

Akhirnya, aku telah mengambil keputusan profesi apa yang kuinginkan. Aku akan terus melanjutkan kegiatan yang selama ini kulakukan, tetapi sejak hari ini, aku akan mendapatkan penghasilan dari kegiatanku itu. Meski tidak merasa perlu dikenal—Ini merupakan sebuah pertimbangan yang penting—aku tetap bisa jadi sangat kaya raya.


Saya merasa sedih saat membalik-balik halaman buku harian lama ini. Usia saya sembilan belas tahun ketika catatan di atas—tertanggal 10 dan 12 Desember 1971—ditulis. Maria telah berangkat ke Stockholm beberapa hari sebelumnya, kandungannya telah berusia antara tiga atau empat minggu. Selama tahun-tahun berikutnya, kami bertemu beberapa kali, tetapi sekarang, dua puluh enam tahun telah berlalu ketika kami bertemu untuk terakhir kalinya. Saya tidak tahu lagi di mana dia tinggal, saya bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup.
Kalau saja dia dapat bertemu dengan saya sekarang. Saya harus berangkat dengan pesawat pagi hari dan menyingkir dari semua ini. Akhirnya, tekanan di dunia luar membentuk sesuatu yang serupa dengan tekanan di dalam diri saya, dengan demikian keseimbangan tercapai. Sekarang saya dapat berpikir dengan lebih jernih. Jika berhati-hati, mungkin saya bisa tinggal di sini selama beberapa minggu sebelum jejaring itu membelit saya erat untuk selamanya.

Saya bersyukur dapat meninggalkan Pameran Buku dalam keadaan utuh. Mereka membuntuti saya ke bandara, tetapi saya ragu apakah mereka mampu menemukan pesawat mana yang akan saya tumpangi. Saya memesan tempat kosong di pesawat yang paling awal meninggalkan Bologna. “Anda tidak tahu ke mana Anda ingin pergi?” saya menggeleng. “Saya hanya ingin pergi dari sini,” jawab saya, “dengan pesawat pertama.” Kini, wanita itulah yang menggelengkan kepala, lalu tertawa. “Tidak banyak orang seperti Anda,” katanya, “tetapi jumlahnya akan semakin banyak pada waktu mendatang. Saya yakin.” Kemudian, setelah tiket saya bayar, dia berkata, “Selamat berlibur. Saya merasa Anda pantas mendapatkannya.”
Andai dia tahu. Andai dia tahu apa yang pantas saya dapatkan.
Dua puluh menit setelah pesawat saya tinggal landas, pesawat lain berangkat ke Frankfurt. Dan saya tidak berada di dalamnya. Mereka pasti membayangkan saya pulang ke Oslo dengan penuh ketakutan. Namun, tidak selalu bijaksana untuk mengambil jalan pintas ke rumah dalam keadaan ketakutan.

***
Saya menginap di sebuah losmen tua di tepi pantai. Saya duduk sambil memandang ke laut. Di atas bukit karang di dekat pantai, berdiri sebuah menara Moor tua. Saya melihat para penangkap ikan dalam perahu-perahu mereka yang berwarna biru. Sebagian dari mereka berada di teluk, menarik jala; yang lain mendekati dinding pemecah-ombak dengan membawa tangkapan hari itu.
Lantainya berubin. Udara dingin merasuk lewat kaki saya. Padahal, saya telah memakai tiga pasang kaus kaki, tetapi percuma saja saat kaki menginjak ubin lantai yang dingin. Jika kondisinya tidak juga membaik, saya akan melepaskan kain penutup tempat tidur besar ini dan melipatnya untuk dijadikan alas kaki.
Saya tiba di tempat ini secara kebetulan. Pesawat pertama dari Bologna bisa saja menuju Kota London atau Paris. Namun, saya merasa semua ini lebih dari sebuah kebetulan. Saat ini saya menunduk di atas meja tua yang dulu sekali pernah digunakan oleh seorang warga Norwegia lain—yang juga boleh disebut “orang buangan”—untuk duduk dan menulis. Saya tinggal di sebuah kota yang pernah menjadi salah satu tempat pertama di Eropa yang
memproduksi kertas. Reruntuhan bekas bangunan pabrik kertas masih berjajar seperti butiran-butiran mutiara pada seutas tali yang memanjang di dasar lembah. Tentu saja mereka harus diinspeksi. Namun, saya harus tinggal di losmen. Saya sudah membayar untuk tidur dan makan di sini.

Sepertinya, tak seorang pun di tempat ini pernah mendengar tentang si Laba-Laba. Di sini, semua aktivitas bergerak di seputar wisata dan budi daya jeruk, beruntung saat ini bukan musim ramai kedua kegiatan itu. Saya melihat beberapa pengunjung tengah mendayung perahu di laut, tetapi musim mandi-mandi belum lagi tiba dan jeruk masih butuh beberapa minggu untuk siap dipetik.
Ada pesawat telepon di kamar saya, tetapi saya tidak punya teman bicara yang bisa dipercaya, tak seorang pun lagi sejak Maria pergi. Saya memang bukan pribadi yang ramah, atau terhormat, tetapi setidaknya saya punya seorang kenalan yang tidak mengharapkan kematian saya. Ada sebuah artikel dalam Corriere della Sera, kata orang itu, dan sesudah itu, semuanya seperti hancur berkeping-keping. Saya memutuskan untuk pergi esok paginya. Dalam pesawat menuju selatan, saya punya cukup waktu santai untuk berpikir kembali. Saya adalah satu-satunya yang tahu sepenuhnya kegiatan saya.
Saya telah memutuskan untuk mengungkapkan semuanya. Saya menulis agar dapat memahami diri saya dan berharap akan dapat menulis dengan jujur. Bukan berarti bahwa saya sangat bisa dipercaya. Orang yang mengaku bahwa dirinya dapat dipercaya dalam semua tulisannya tentang kehidupannya sendiri biasanya telah membalikkan segala sesuatunya bahkan sebelum dia memulai perjalanan yang penuh risiko itu.


Ketika saya duduk untuk berpikir, seorang laki-laki bertubuh kecil berjalan hilir mudik di ruangan. Tingginya hanya semeter, tetapi usianya sudah tua. Lelaki kecil itu mengenakan setelan abu-abu arang dan sepatu kulit patent hitam, memakai topi laken hijau tinggi, dan mengayun-ayunkan tongkat kecil dari bambu. Sesekali dia mengarahkan tongkatnya kepada saya, dan itu menunjukkan bahwa saya harus bergegas dan memulai cerita saya.
Lelaki kecil bertopi laken itulah yang mendorong saya mengakui semua yang saya ingat.

Tentu saja akan lebih sulit untuk membunuh saya jika memoar saya diterbitkan. Adanya desas-desus yang mengatakan bahwa memoar itu tengah dibuat akan melemahkan keberanian bahkan para pemberani sekalipun. Saya yakin bahwa desas-desus seperti itu memang telah beredar.
Beberapa lusin kaset diktafon telah tersimpan aman dalam kotak deposit di bank—nah, sekarang rahasia ini sudah diketahui pembaca—saya tidak akan mengatakan di mana, tetapi masalah saya sudah teratur rapi. Saya telah merekam hampir seratus suara orang dalam kaset-kaset kecil ini, dengan demikian barang-barang ini nantinya dapat menunjukkan alasan mereka untuk membunuh saya. Sebagian berupa ancaman terang-terangan, semuanya terekam dalam kaset yang diberi nomor secara berurutan dari I hingga XXXVIII. Saya juga sudah menyusun sebuah indeks cermat yang akan mempermudah menandai setiap suara. Saya memang telah bertindak sangat hati-hati, barangkali ada orang yang menyebut sikap seperti ini sebagai cerdik. Saya yakin bahwa gosip tentang kaset-kaset ini telah menyelamatkan nyawa saya selama beberapa tahun terakhir. Dilengkapi dengan catatan-catatan ini, keajaiban-keajaiban kecil itu akan memiliki nilai yang jauh lebih besar.
Saya tidak berniat mengatakan bahwa pengakuan saya, atau kaset-kaset ini, akan menjamin keamanan saya. Saya berpikir akan berangkat ke Amerika Selatan atau ke suatu tempat di Timur. Saya bahkan baru saja berpikir untuk mempertimbangkan sebuah pulau
di Lautan Pasifik. Walau bagaimanapun, saya ini berpandangan sempit, dan selalu berpandangan sempit. Bagi saya, lebih memelas terpencil di sebuah kota besar daripada terpencil di sebuah pulau kecil di Pasifik.

Saya sudah kaya raya. Kenyataan seperti ini sama sekali tidak mengagetkan bagi saya. Besar kemungkinan, saya akan menjadi orang pertama dalam sejarah yang menggunakan keterampilan khas saya ini, setidaknya dengan cara yang hebat-hebatan seperti ini. Pasar tak berbatas dan saya selalu memiliki sesuatu yang dapat dijual. Bisnis saya tidak melanggar hukum, saya bahkan membayar pajak dalam jumlah tertentu. Saya juga hidup sederhana, dan sekarang saya mampu membayar tunggakan pajak yang tinggi, seandainya masalah itu timbul. Di mata pelanggan saya pun, bisnis ini tidak melanggar hukum, hanya kurang terhormat.
Saya sadar bahwa sejak hari ini, saya akan menjadi lebih miskin dibandingkan dengan orang lain karena saya harus selalu melarikan diri. Namun, saya tidak ingin bertukar profesi dengan seorang guru. Saya juga tidak ingin bertukar profesi dengan seorang penulis. Saya sudah merasakan betapa beratnya kehidupan dengan sebuah profesi yang mapan.

Lelaki kecil itu membuat saya semakin gelisah. Satu-satunya jalan untuk melupakannya adalah dengan terus menulis. Saya akan memulainya sejauh yang saya ingat.[]