THE GIRL IN THE SPIDERS WEB

Rp. 129,000

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.pdf.price) }}

(Pdf) +

Rp. {{ formatPrice(priceCheck.hard_copy.price) }}

(Hard Copy)
Type
Qty Stock : Available
Qty
Stock : 47
Note
Mizan Store
Jakarta
4.5

Dia, Salander, gadis bertato naga—peretas cerdas dan tak kenal takut. Sedangkan, Blomkvist adalah jurnalis yang idealismenya sering membuatnya tersandung masalah.

Suatu malam, Blomkvist mendapat telepon anonim yang memberinya informasi vital tentang Amerika Serikat. Implikasi dari informasi via telepon ini sangat mengerikan. Bisa menghancurkan pemerintahan salah satu negara terkuat di dunia. Blomkvist yang ingin mendapatkan laporan eksklusif untuk Millenium, meminta bantuan Salander. Tapi seperti biasa, Salander punya agenda sendiri. Rahasia yang mereka kejar, membawa mereka berkelindan di pusat mata-mata dunia, kriminal cyber, dan perebutan kekuasaan dunia. Rahasia yang membuat siapa pun tak segan membunuh untuk mendapatkannya .... 

Duo yang memukau jutaan pembaca dunia lewat seri The Girl with The Dragon Tattoo, kembali dalam The Girl in the Spider’s Web. Kini difilmkan, kisah thriller unik penuh adrenalin ini dijamin akan memikat Anda dari awal hingga akhir.

-----------

Prolog
Setahun Sebelumnya


Kisah ini dimulai dengan mimpi, dan bukan mimpi yang sangat spektakuler juga. Hanya tangan yang memukuli kasur secara berirama dan terus-menerus di sebuah kamar di Lundagatan.

Namun, mimpi itu masih membuat Lisbeth Salander turun dari tempat tidurnya dalam cahaya awal fajar. Lalu, dia duduk di depan komputer dan memulai perburuan itu.[]


-----------
BAGIAN 1

MATA YANG MENGAWASI

1-21.xi



NSA, atau National Security Agency, adalah otoritas federal Amerika Serikat yang berada di bawah Departemen Pertahanan. Kantor pusatnya di Fort Meade, Maryland, di samping Patuxent Freeway.

Semenjak didirikan pada 1952, NSA melakukan pengawasan sinyal-sinyal—saat ini terutama berhubungan dengan Internet dan lalu lintas pembicaraan telepon. Kekuasaannya meningkat seiring waktu, dan kini NSA memantau lebih dari dua puluh biliun percakapan dan pesan selama dua puluh empat jam penuh setiap harinya.[]

-------------
BAB 1
AWAL NOVEMBER

Frans Balder selalu menganggap dirinya ayah yang payah. Dia nyaris tak pernah berupaya menyandang peran sebagai ayah dan tak merasa nyaman dengan tugas itu, kini setelah putranya berusia delapan tahun. Namun, itu tugasnya, dan begitulah cara pandangnya. Bocah itu sangat menderita, tinggal bersama mantan istri Balder dan kekasih bajingannya, Lasse Westman.

Jadi, Balder mengundurkan diri dari pekerjaannya di Silicon Valley, menaiki pesawat untuk pulang, dan kini berdiri di Bandara Arlanda, nyaris dalam keadaan terguncang, menunggu taksi. Cuacanya mengerikan. Hujan menampar-nampar wajahnya dan untuk ke sekian ratus kalinya, dia bertanya-tanya apakah ini hal yang benar untuk dilakukan.

Sungguh gila gagasan itu, bahwa dirinya—di antara semua idiot yang mementingkan diri sendiri—harus menjadi ayah purna-waktu. Itu sama saja dengan bekerja di kebun binatang. Dia tak tahu apa-apa tentang anak kecil dan tak tahu banyak mengenai kehidupan secara umum. Yang terganjil adalah, tak seorang pun memintanya untuk melakukan
hal ini. Tidak ada ibu atau nenek yang meneleponnya, memohon dan menyuruhnya menghadapi tanggung jawabnya.

Ini keputusan Balder sendiri. Dia hendak menentang putusan perwalian yang sudah lama berjalan dan, tanpa pemberitahuan, memasuki rumah mantan istrinya untuk membawa pulang putranya, August. Pasti akan terjadi kegemparan. Si Bajingan Lasse Westman itu mungkin akan menghajarnya habis-habisan. Namun, dia mengusir pikiran itu dari benaknya dan memasuki taksi dengan sopir perempuan yang asyik mengunyah permen karet dan pada saat bersamaan mencoba memulai percakapan dengannya. Perempuan itu tak akan berhasil, bahkan di salah satu hari baik Balder sekalipun. Balder bukan orang yang suka berbasa-basi.

Dia duduk di kursi belakang, memikirkan putranya dan semua yang terjadi baru-baru ini. August bukan alasan satu-satunya—atau bahkan alasan utama—Balder berhenti bekerja di Solifon. Hidupnya sedang kacau, dan sejenak dia bertanya-tanya apakah dirinya benar-benar tahu apa yang hendak dilakukannya. Ketika taksi memasuki area Vasastan, rasanya seakan-akan semua darah meninggalkan tubuhnya. Namun, kini tak ada jalan untuk kembali.

Balder membayar taksi itu di Torsgatan, mengeluarkan bagasinya, lalu meninggalkannya persis di balik pintu depan bangunan. Satu-satunya benda yang dibawanya menaiki tangga adalah koper kosong berlapis peta dunia berwarna cerah, yang dibelinya di bandara internasional San Francisco. Dia berdiri di luar pintu apartemen, tersengal-sengal. Dengan mata terpejam, dia membayangkan semua kemungkinan skenario teriakan dan pertengkaran, dan sebenarnya, pikirnya, mereka nyaris tak bisa disalahkan. Tak seorang pun muncul begitu saja dan menculik seorang anak dari rumahnya, apala
gi seorang ayah yang keterlibatannya di masa lalu hanya sebatas memasukkan uang ke sebuah rekening bank. Namun, ini darurat, jadi dia menguatkan diri dan menekan bel pintu, memerangi dorongan untuk kabur.

Mulanya tidak ada jawaban. Lalu, pintu melayang terbuka dan di sanalah Westman dengan mata biru menusuk, dada bidang, dan kepalan tangan raksasanya. Lelaki itu seakan-akan diciptakan untuk mencederai orang, dan itulah sebabnya dia begitu sering memerankan penjahat di ?lm, walaupun tak satu pun dari semua perannya—ini diyakini oleh Balder—bisa sejahat orang yang diperankannya dalam kehidupan nyata.

“Astaga,” kata Westman. “Lihatlah siapa ini. Si Genius itu sendiri telah datang berkunjung.”

“Aku kemari untuk menjemput August,” kata Balder.

“Apa?”

“Aku akan membawanya pergi bersamaku, Lasse.”

“Kau pasti bergurau.”

“Aku sangat serius,” jawab Balder, lalu Hanna muncul dari ruangan di seberang kiri. Memang, perempuan itu tak secantik dulu. Ada terlalu banyak ketidakbahagiaan untuk itu, dan mungkin terlalu banyak rokok dan alkohol juga. Namun, Balder masih dilanda gelombang perasaan sayang yang tak terduga, terutama ketika dia memperhatikan memar di leher perempuan itu. Hanna tampak ingin mengucapkan sesuatu yang ramah, walaupun situasinya seperti itu, tapi dia tak sempat membuka mulut.

“Mengapa kau mendadak peduli?” tanya Westman.

“Karena August sudah cukup menderita. Dia perlu rumah yang stabil.”

“Dan kau pikir itu bisa kau sediakan? Dasar orang aneh. Sejak kapan kau melakukan sesuatu selain menatap layar komputer?”

“Aku sudah berubah,” jawab Balder, yang merasa prihatin, sebagian karena dia ragu apakah dirinya sudah berubah sedikit saja.
Dia dijalari rasa merinding ketika Westman menghampirinya dengan tubuh perkasa dan kemarahan terpendamnya. Jelas sekali dia tak akan punya sarana pertahanan diri, seandainya lelaki gila itu menyerang. Seluruh gagasan ini sudah gila sejak awal. Namun, anehnya tidak ada luapan kemarahan, tidak ada keributan, hanya ada senyum masam, lalu kata-kata, “Wah, hebat sekali, bukan!”

“Apa maksudmu?”

“Itu sudah waktunya, bukan, Hanna? Akhirnya, muncul rasa tanggung jawab dari Mr. Sibuk. Bravo, bravo!” Westman bertepuk tangan secara dramatis. Lalu, dan inilah yang dianggap Balder paling mengerikan—dengan mudah mereka membiarkan bocah itu pergi.

Mungkin mereka hanya memandang August sebagai beban. Sulit untuk diketahui. Hanna memberi Balder lirikan-lirikan yang susah dimengerti, dengan tangan gemetar dan rahang terkatup. Namun, perempuan itu tidak banyak bertanya. Seharusnya dia menginterogasi-ulang Balder, mengucapkan ribuan tuntutan, memperingatkannya, dan merasa khawatir rutinitas bocah itu akan berantakan. Namun, dia hanya berkata, “Kau yakin soal ini? Kau mampu?”

“Aku yakin,” jawab Balder. Lalu, mereka pergi ke kamar August. Sudah lebih dari setahun Balder tidak melihat bocah itu, dan dia merasa malu. Bagaimana mungkin dia meninggalkan bocah seperti itu? August sangat tampan dan secara unik menawan, dengan rambut keriting lebat, tubuh ramping, dan mata biru seriusnya, dan bocah itu sedang asyik menekuni jigsaw puzzle raksasa bergambar kapal layar. Tubuhnya seakan-akan berteriak “Jangan ganggu aku!” Balder berjalan menghampirinya perlahan-lahan, seakan-akan mendekati makhluk tak dikenal dan tak terduga.

Namun, Balder berhasil membuat bocah itu meng gandeng tangannya dan mengikutinya ke koridor. Ini tak akan pernah dilupakannya. Apa yang dipikirkan August? Apa yang dibayangkannya sedang terjadi? Bocah itu tidak mendongak memandang Balder atau ibunya, dan tentu saja dia mengabaikan semua lambaian tangan dan kata perpisahan itu. Dia hanya menghilang ke dalam lift bersama Balder. Begitu saja.