Tony Fernandes, pendiri dan CEO Group salah satu maskapai terbaik di dunia, dikenal sebagai sosok yang berani mengambil sikap dan apa adanya. Ditulis dalam kurun waktu 3 tahun, buku ini mengisahkan transformasi Tony dari seorang akuntan sederhana menjadi salah satu miliarder yang diperhitungkan di Asia dan dunia saat ini.
Bagi Tony, AirAsia adalah dongeng, tak selalu menyenangkan dan punya masa gelap. Di tangannya, Tony berhasil menyulap AirAsia dari perusahaan yang semula hendak tamat—dililit banyak utang, defisit hampir 1 juta USD per bulan, punya sedikit rute, dan tak jelas masa depannya—menjadi sebuah industri besar di Asia.
Inilah kisah 16 tahun perjuangan Tony melawan orang-orang yang meremehkannya hingga berhasil mewujudkan mimpinya. Dan akhirnya, pesan Tony kepada semua pemimpi di dunia sederhana saja:
Beranilah bermimpi karena sebagian impian bisa menjadi kenyataan.
Prolog
Sebuah Kotak Penuh Mimpi
Musik latar: “Dreams” oleh The Corrs
Beberapa tahun lalu, seorang teman lamaku saat masih bersekolah dulu, Gerry Wigfield, tiba-tiba saja menghubungiku. Bahkan di ujung sambungan telepon jarak jauh pun aku bisa mendengarnya begitu bersemangat.
“Tony, ibuku menemukan sesuatu milikmu.”
“Apa itu, Gerry?”
“Ah, ceritanya panjang. Aku akan memintanya mengirim barang itu kepadamu lain kali kalau kau sedang berada di London.”
Saat itu aku sedang tinggal di Kuala Lumpur selama beberapa bulan untuk urusan bisnis, jadi kuakui bahwa percakapan ini tak lama kemudian terlupakan dari benakku. Beberapa hari setelah aku tiba kembali di London
dan apartemenku di Chester Square, bel pintu berbunyi. Aku melangkah ke pintu dengan pakaian piama, tak bisa menebak siapa atau apa yang menungguku di balik pintu.
Seorang petugas pos berdiri di sana sambil membawa sebuah paket sepanjang kira-kira satu meter dan setinggi tiga puluhan sentimeter, dibungkus dengan kertas berwarna cokelat, dengan namaku tercetak rapi di
atas stiker putih. Saat dia menyerahkan kotak itu, aku bersiap memegang sesuatu yang berat, namun ternyata ringan. Aku meletakkannya di meja di koridor, menandatangani tanda terima, dan menutup pintu. Untuk
beberapa alasan, ingatan tentang panggilan telepon dari Gerry muncul di benakku dan aku pun segera menyobek kertas pembungkus paket itu.
Beberapa detik kemudian, sambil berdiri di tengah sobekan kertas cokelat, aku mulai paham. Aku sedang menatap sebuah kotak karton biru yang agak penyok dengan ujung-ujung dari kulit yang dikeraskan, gembok
dari kuningan, dan tali pengikat dari kulit di ujungnya. Itu kotakku dari masa sekolah dulu, Epsom College. Sudah tiga puluh tahun aku tak melihatnya.
Pada penutup kotak ada tiga stiker: logo West Ham United, Qantas Airways, dan tim Williams di Formula One.
Aku menjentikkan kuncinya dan mengangkat penutup kotak. Di dalamnya ada dua kaset C90: album Arrival-nya ABBA dan The Royal Scam-nya Steely Dan, beserta sebuah bungkusan berisi mi kering yang
biasa dikirim oleh ibuku dari Kuala Lumpur. Isi kotak itu membuatku gamang. Dulu aku merasa hancur. Kenangan tentang Mum, pindah ke Inggris, dan kehidupan masa sekolah membanjiri benakku.
Kotak tersebut, baik bagian dalam maupun luar, mewakili semua mimpi yang pernah kualami ketika aku sedang bertumbuh besar: aku menyukai olahraga, musik, dan pesawat terbang. Apa yang membuatku merasa meluap-luap pada saat itu adalah saat menyadari bahwa impian masa kecilku telah menjadi kenyataan.
Sejak lulus dari Epsom, aku telah mendirikan bisnis musik, bekerja sama dengan beberapa bintang pop terbesar dunia dan membawa bandband Malaysia dan Asia ke tingkat dunia.
Aku telah mengambil alih sebuah klub sepak bola Inggris dan digendong di bahu para pemainnya di Stadion Wembley setelah kami berhasil mendapatkan promosi ke liga utama.
Aku telah berdiri di garis start di Grand Prix dengan mobil Formula One-ku sendiri.
Aku telah mengambil alih sebuah maskapai penerbangan kecil dan mengubahnya
menjadi bisnis kelas internasional yang mengangkut 70 juta penumpang setiap tahunnya.
Mengubah semua impian itu menjadi kenyataan—perjalanan dari menempelkan stiker pada kotak itu hingga membuka pintu untuk petugas pos sekitar tiga puluh tahun kemudian—terkadang terasa begitu
menyesakkan dan meremukkan hati, namun penuh kehebohan dan kegembiraan. Perjalanan tersebut juga menorehkan kisah yang nyaris mustahil dan sungguh tak terduga.
Namun, marilah kita mulai dari awal, ketika masa kecil dan masa sekolahku tidak menunjukkan tanda-tanda semua impian itu akan menjadi kenyataan.[]