“‘Kemenangan’ Gus Dur atas ‘lawan-lawan’-nya terutama karena dia punya rasa humor yang tinggi. Waktu menjadi presiden dan membuka pameran lukisan saya, dengan enteng Gus Dur berkata, ‘Sudah tahu saya tidak bisa melihat, kok, disuruh membuka pameran ....’ Buktikan sendiri dengan membaca buku ini.”
—K.H. Mustofa Bishri
Seorang pandita Hindu, seorang pastor Katolik, dan seorang kiai Islam, memperdebatkan tentang siapa di antara mereka yang paling dekat dengan Tuhan.
“Kami!” ujar pandita Hindu. “Kami memanggil Dia Om, seperti kami menyebut paman kami,” jawab pandita Hindu sambil merapatkan kedua tangan di dada. “Om, shanti, shanti, Om.”
“Kalau begitu, kamilah yang jelas lebih dekat kepada Tuhan!” ujar pendeta Katolik, “Kami memanggil Dia 'Bapa'. Bapa kami yang ada di Surga.”
Kiai terdiam. “Hm . . ., ” sang kiai merenung, “sebenarnya kalau kami ingin memanggilnya, kami tinggal berteriak saja dari menara masjid . . . .”
Berlatar belakang keluarga pesantren, Gus Dur dibesarkan oleh tradisi guyonan kalangan Nadhliyin yang blak-blakan. Setiap guyonan yang terlontar dari mulut Gus Dur adalah sebuah refleksi atas berbagai hal dan peristiwa. Dia pun tak ragu menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan guyonan, dan dengan itu dia pun mengajarkan sikap self-criticism kepada pendengarnya.
Buku Tertawa Bersama Gus Dur ini mengompilasi kembali berbagai guyonan Gus Dur yang selama ini telah membuat banyak orang tersenyum. Seperti Nasrudin Hoja dan Abu Nawas, humor Gus Dur tak hanya membuat orang tertawa, tetapi juga merenungi betapa kegetiran dunia ternyata bisa diselesaikan dengan humor ala sufi yang kritis.
“Sense of humor yang tinggi justru menunjukkan kapasitas spiritual intelligence yang tinggi dari seseorang.”
—Prof. Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat
“Beliau adalah orang yang jago mencairkan suasana, guyonannya spontan dan disukai oleh siapa pun mulai dari orang Batak, Madura, LSM, hingga Lintas Agama.”
—Sulaiman (asisten pribadi Gus Dur)
“Seniman yang khusus menciptakan kesegaran humor dengan joke-joke cerdas.”
—Jaya Suprana