Dulu di sebuah pesantren, ada dua orang kiai yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras bahwa kesenian itu syirik, bahkan haram. Kami para santri menyaksikan perdebatan itu dengan hati berdebar. Dari kejauhan, terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai yang saya kisahkan itu mulai meledak-ledak dan menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan. Kami, para santri, melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding lisannya. *** Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, menguliti dalam-dalam perkara kemusliman ^birokrasi^. Ketaatan yang penuh rasa ^takut pada atasan^, bukan kecintaan dan pengabdian pada Tuhan. Semua kemudian berputar pada surga dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detil-detil ritual yang malah memicu perbedaan pendapat antarumat, serta dengan gampang mengkafirkan orang lain. Dalam kegelisahannya, Emha seolah berbicara pada naluri kita dan berkata, ^Apa tidak malu kita kepada-Nya, pada akal dan perasaan kita sendiri?^